Dulu, semasa ku masih duduk di bangku MI, surau itu cukup ramai,
dan menjadi surau yang paling ramai se-Dukuhan. Ketika malam sehabis isya’, ku
bersama teman-teman sebayaku, yang waktu itu masih banyak personel, dengan
semangat yang tinggi berbondong-bondong datang ke surau itu. Demi agar bisa
membaca kitab Al-Qur’an. Lancar atau tidak bacaan kami, kami tetap rutin
mengeja satu per satu, kata per kata, kalimat per kalimat dari rangkaian huruf Al-Qur’an.
Guru ngaji kami yang tak lain adalah bu dhe dan ibuku
sendiri, dengan begitu sabar menuntun kami agar bacaan kami menjadi lancar.
Jikalau bu dhe ku yang mengajar, maka kami akan sangat senang dan tenang,
lantaran kesabaran dan ketelatenan beliau dalam menghadapi kami. Jika
kesempatan ibuku yang mengajar kami, maka kami akan merasakan sedikit ketakutan,
lantaran karakter ibuku yang memang ku akui sedikit galak dan tegas dalam
mengajar, namun tetap telaten. Dan akhirnya sifat itu –galak dan tegas- kini
diwariskannya kepadaku.
Masih ku ingat beberapa teman ngajiku kala itu, ada mbak Sri, mbak
Utami, Umi, Lia, Misbah, Edi, Yudi, dsb. Kini rata-rata dari mereka sudah
berkeluarga dan memiliki anak, walaupun belum semua.
Ketika malam Jum’at, sejak kecil kami sudah dididik untuk
mengikuti kegiatan tahlilan dan yasinan di surau itu. Kami menurut
saja. Apalagi setiap kali selesai acara, selalu ada sajian-sajian yang
diberikan dari warga sekitar. Terkadang berupa ambeng atau tumpeng,
yaitu semacam nasi yang telah disajikan sedemikian rupa dalam sebuah nampan
besi ataupun kayu. Terkadang juga berupa kue-kue tradisional semisal onde-onde,
nagasari, pisang rebus, ataupun berupa snack-snack ringan dalam kemasan.
Setelah tahlilan selesai, tak segan-segan kami segera mengepung
sajian itu beramai-ramai, dan kami pun memakannya secara bersama-sama, sembari
menunggu adzan isya’ berkumandang.
Itu kegiatan yang kami ikuti setiap malam jum’at. Nah, ketika hari
jum’at tiba, pagi sekitar pukul 8 atau 9, aku dan teman-teman
berbondong-bondong untuk berkumpul di surau itu lagi, dengan masing-masing
kepala membawa satu buah kain atau baju bekas yang akan kami gunakan sebagai
kain pel. Ya, hari jum’at kami agendakan untuk mengepel surau kami
tercinta. Tak ada instruksi dari siapapun, entah dari guru ngaji kami, imam
sholat di surau itu, atau ketua RT, apalagi kepala desa. Itu semua inisiatif
kami sendiri, sebagai ungkapan rasa sayang kami terhadap surau itu.
Waktu itu, surau itu belum memiliki kamar mandi dan tempat
berwudlu. Kami mengambil air untuk me-ngepel, dengan menimba air dari
rumah salah satu teman kami; Misbah, yang tak lain adalah putra dari imam di surau
itu. Ya, waktu itu sumur masih sangat banyak di desa kami. Tak ada kesulitan
yang kami rasakan, yang ada justru malah senang.
Setelah menimba air dari sumur, kami pun mengepel surau itu. Dengan
menggunakan senjata kain bekas di tangan masing-masing, kami pun berbasah-basahan
ria dan berlarian kesana kemari, sambil mendorong kain pel kami dari bagian
imam-an sampai teras surau. Tak jarang lutut kami pun menjadi lecet-lecet,
lantaran tergores keramik surau yang sudah retak-retak. Tapi hal itu tak
sedikitpun mengurangi semangat kami. Setelah selesai, maka kami segera pulang
ke rumah kami masing-masing untuk bebersih diri.
Berbeda lagi tradisi ketika bulan Ramadhan tiba. Dengan berbaris
di bagian paling belakang, kami dengan penuh semangatnya, tak pernah absen
mengikuti shalat tarawih dan tadarus di surau itu, dari rakaat pertama, sampai
rakaat ke-20. Akan tetapi, itu terjadi ketika hari-hari awal dan akhir saja.
Ketika pertengahan, kami sering bermalas-malasan. Jadi, kami mengikuti shalat
tarawih dengan melobanginya satu persatu, rakaat pertama ikut, rakaat kedua
tidak, ketiga ikut, keempat tidak, dan seterusnya. Sering kami mendapat marah
dari orang-orang tua, ketika tak sengaja kami ramai. Tapi kami tak
menggubrisnya. Yah, namanya juga anak-anak, wajar saja kan? Yang penting mereka
sudah mau ikut saja, itu sudah cukup baik karena akan menjadi bekal dalam
prosesnya menapaki kedewasaannya kelak. J
Ketika siang Ramadhan, karena sekolah kami libur -berbeda dengan
sekolah jaman sekarang yang liburnya hanya separo dari bulan ramadhan, bahkan
ada yang tak ada liburnya sama sekali-, maka kami memanfaatkan waktu siang itu
untuk bermain karet atau dakon di surau itu. Ya, permainan tradisional
yang nampaknya sekarang sudah tidak ada lagi, alias sudah musnah. Jelas saja,
anak-anak sekarang mainannya sudah sangat keren, game dari HP, PS, ataupun
i-pad , tab, dan sejenisnya. Berbeda dengan zaman kami kala itu. Maka hiburan
kami hanyalah dengan bermain karet, dakon, terkadang juga petak umpet,
dsb. Sederhana memang, akan tetapi kami sangat menikmatinya. Dan, ku merasa
bersyukur karna masih menangi masa-masa seperti itu. karena dari
permainan-permainan semacam itu, secara tak langsung dapat memberikan bekal
jiwa sosialis kepada kami. Sebuah pelajaran bagaimana kami dapat bersosialisasi
dan berkomunikasi dengan teman-teman sebaya, yang nantinya sedikit banyak akan
memperngaruhi dalam proses bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat
ketika dewasa. Berbeda dengan permainan macam sekarang, yang menurutku lebih
banyak memberikan dampak negatif kepada anak daripada dampak positif.
Permainan itu kami laksanakan sampai adzan dzuhur berkumandang.
Ketika sudah masuk waktu shalat dzuhur, maka kami segera pulang ke rumah
masing-masing untuk bebersih diri dan mengikuti shalat dzuhur berjama’ah di surau
itu, karna setelah dzuhur, kami harus mengikuti kajian kitab dan program
khataman Al-Qur’an selama bulan Ramadhan. Kitab yang kami kaji waktu itu adalah
kitab safinatun naja.
Ketika sore tiba, kami pun kerap bermain tenis atau bulu tangkis
di halaman surau itu. Jika agenda mengaji di TPQ sedang llibur tentunya.
Malam harinya, kami secara berurutan, bergantian dan tertib
mengikuti tadarus di surau itu. Dan ketika malam hari raya tiba, maka kami pun
akan begadang di surau itu dengan tak henti-hentinya mengumandangkan takbir
melalui microphone yang terpancar dari surau itu. Perayaan malam hari
raya kami pun menjadi semakin meriah, lantaran tak sedikit dari kami yang
mengumandangkan takbir sembari klotek’an, memukul-mukul kendang atau
potongan bambu sederhana yang kerap digunakan oleh para kaum bapak dalam ronda
malamnya, sebagai alat memanggil para warga ketika terjadi sebuah peristiwa
janggal seperti kemalingan.
Itu dulu. Sekarang?
Kondisinya cukup memprihatinkan, karena semua itu sudah tidak ada.
Bahkan anak-anak kecil yang mengaji di surau itu pun hanya tinggal satu-dua
saja yang masih bertahan. Entah apa yang mereka kerjakan, dan apa yang
ditanamkan oleh orang tua zaman sekarang. Dan entah, kondisi seperti itu –surau
sepi- hanya terjadi di surau dekat tempat tinggalku, atau terjadi pada hampir
seluruh surau masa kini. Entah..
Semoga kaum muda sekarang, masih ada yang tergerak hatinya untuk
menghidupkan surau kembali..
Bojonegoro,
08 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar