Minggu, 07 April 2013

Surau itu…



Dulu, semasa ku masih duduk di bangku MI, surau itu cukup ramai, dan menjadi surau yang paling ramai se-Dukuhan. Ketika malam sehabis isya’, ku bersama teman-teman sebayaku, yang waktu itu masih banyak personel, dengan semangat yang tinggi berbondong-bondong datang ke surau itu. Demi agar bisa membaca kitab Al-Qur’an. Lancar atau tidak bacaan kami, kami tetap rutin mengeja satu per satu, kata per kata, kalimat per kalimat dari rangkaian huruf Al-Qur’an.

Guru ngaji kami yang tak lain adalah bu dhe dan ibuku sendiri, dengan begitu sabar menuntun kami agar bacaan kami menjadi lancar. Jikalau bu dhe ku yang mengajar, maka kami akan sangat senang dan tenang, lantaran kesabaran dan ketelatenan beliau dalam menghadapi kami. Jika kesempatan ibuku yang mengajar kami, maka kami akan merasakan sedikit ketakutan, lantaran karakter ibuku yang memang ku akui sedikit galak dan tegas dalam mengajar, namun tetap telaten. Dan akhirnya sifat itu –galak dan tegas- kini diwariskannya kepadaku.

Masih ku ingat beberapa teman ngajiku kala itu, ada mbak Sri, mbak Utami, Umi, Lia, Misbah, Edi, Yudi, dsb. Kini rata-rata dari mereka sudah berkeluarga dan memiliki anak, walaupun belum semua.

Ketika malam Jum’at, sejak kecil kami sudah dididik untuk mengikuti kegiatan tahlilan dan yasinan di surau itu. Kami menurut saja. Apalagi setiap kali selesai acara, selalu ada sajian-sajian yang diberikan dari warga sekitar. Terkadang berupa ambeng atau tumpeng, yaitu semacam nasi yang telah disajikan sedemikian rupa dalam sebuah nampan besi ataupun kayu. Terkadang juga berupa kue-kue tradisional semisal onde-onde, nagasari, pisang rebus, ataupun berupa snack-snack ringan dalam kemasan.

Setelah tahlilan selesai, tak segan-segan kami segera mengepung sajian itu beramai-ramai, dan kami pun memakannya secara bersama-sama, sembari menunggu adzan isya’ berkumandang.

Itu kegiatan yang kami ikuti setiap malam jum’at. Nah, ketika hari jum’at tiba, pagi sekitar pukul 8 atau 9, aku dan teman-teman berbondong-bondong untuk berkumpul di surau itu lagi, dengan masing-masing kepala membawa satu buah kain atau baju bekas yang akan kami gunakan sebagai kain pel. Ya, hari jum’at kami agendakan untuk mengepel surau kami tercinta. Tak ada instruksi dari siapapun, entah dari guru ngaji kami, imam sholat di surau itu, atau ketua RT, apalagi kepala desa. Itu semua inisiatif kami sendiri, sebagai ungkapan rasa sayang kami terhadap surau itu.

Waktu itu, surau itu belum memiliki kamar mandi dan tempat berwudlu. Kami mengambil air untuk me-ngepel, dengan menimba air dari rumah salah satu teman kami; Misbah, yang tak lain adalah putra dari imam di surau itu. Ya, waktu itu sumur masih sangat banyak di desa kami. Tak ada kesulitan yang kami rasakan, yang ada justru malah senang.

Setelah menimba air dari sumur, kami pun mengepel surau itu. Dengan menggunakan senjata kain bekas di tangan masing-masing, kami pun berbasah-basahan ria dan berlarian kesana kemari, sambil mendorong kain pel kami dari bagian imam-an sampai teras surau. Tak jarang lutut kami pun menjadi lecet-lecet, lantaran tergores keramik surau yang sudah retak-retak. Tapi hal itu tak sedikitpun mengurangi semangat kami. Setelah selesai, maka kami segera pulang ke rumah kami masing-masing untuk bebersih diri.

Berbeda lagi tradisi ketika bulan Ramadhan tiba. Dengan berbaris di bagian paling belakang, kami dengan penuh semangatnya, tak pernah absen mengikuti shalat tarawih dan tadarus di surau itu, dari rakaat pertama, sampai rakaat ke-20. Akan tetapi, itu terjadi ketika hari-hari awal dan akhir saja. Ketika pertengahan, kami sering bermalas-malasan. Jadi, kami mengikuti shalat tarawih dengan melobanginya satu persatu, rakaat pertama ikut, rakaat kedua tidak, ketiga ikut, keempat tidak, dan seterusnya. Sering kami mendapat marah dari orang-orang tua, ketika tak sengaja kami ramai. Tapi kami tak menggubrisnya. Yah, namanya juga anak-anak, wajar saja kan? Yang penting mereka sudah mau ikut saja, itu sudah cukup baik karena akan menjadi bekal dalam prosesnya menapaki kedewasaannya kelak. J

Ketika siang Ramadhan, karena sekolah kami libur -berbeda dengan sekolah jaman sekarang yang liburnya hanya separo dari bulan ramadhan, bahkan ada yang tak ada liburnya sama sekali-, maka kami memanfaatkan waktu siang itu untuk bermain karet atau dakon di surau itu. Ya, permainan tradisional yang nampaknya sekarang sudah tidak ada lagi, alias sudah musnah. Jelas saja, anak-anak sekarang mainannya sudah sangat keren, game dari HP, PS, ataupun i-pad , tab, dan sejenisnya. Berbeda dengan zaman kami kala itu. Maka hiburan kami hanyalah dengan bermain karet, dakon, terkadang juga petak umpet, dsb. Sederhana memang, akan tetapi kami sangat menikmatinya. Dan, ku merasa bersyukur karna masih menangi masa-masa seperti itu. karena dari permainan-permainan semacam itu, secara tak langsung dapat memberikan bekal jiwa sosialis kepada kami. Sebuah pelajaran bagaimana kami dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman-teman sebaya, yang nantinya sedikit banyak akan memperngaruhi dalam proses bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat ketika dewasa. Berbeda dengan permainan macam sekarang, yang menurutku lebih banyak memberikan dampak negatif kepada anak daripada dampak positif.

Permainan itu kami laksanakan sampai adzan dzuhur berkumandang. Ketika sudah masuk waktu shalat dzuhur, maka kami segera pulang ke rumah masing-masing untuk bebersih diri dan mengikuti shalat dzuhur berjama’ah di surau itu, karna setelah dzuhur, kami harus mengikuti kajian kitab dan program khataman Al-Qur’an selama bulan Ramadhan. Kitab yang kami kaji waktu itu adalah kitab safinatun naja.

Ketika sore tiba, kami pun kerap bermain tenis atau bulu tangkis di halaman surau itu. Jika agenda mengaji di TPQ sedang llibur tentunya.

Malam harinya, kami secara berurutan, bergantian dan tertib mengikuti tadarus di surau itu. Dan ketika malam hari raya tiba, maka kami pun akan begadang di surau itu dengan tak henti-hentinya mengumandangkan takbir melalui microphone yang terpancar dari surau itu. Perayaan malam hari raya kami pun menjadi semakin meriah, lantaran tak sedikit dari kami yang mengumandangkan takbir sembari klotek’an, memukul-mukul kendang atau potongan bambu sederhana yang kerap digunakan oleh para kaum bapak dalam ronda malamnya, sebagai alat memanggil para warga ketika terjadi sebuah peristiwa janggal seperti kemalingan.

Itu dulu. Sekarang?

Kondisinya cukup memprihatinkan, karena semua itu sudah tidak ada. Bahkan anak-anak kecil yang mengaji di surau itu pun hanya tinggal satu-dua saja yang masih bertahan. Entah apa yang mereka kerjakan, dan apa yang ditanamkan oleh orang tua zaman sekarang. Dan entah, kondisi seperti itu –surau sepi- hanya terjadi di surau dekat tempat tinggalku, atau terjadi pada hampir seluruh surau masa kini. Entah..

Semoga kaum muda sekarang, masih ada yang tergerak hatinya untuk menghidupkan surau kembali..



Bojonegoro, 08 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar