Sabtu, 20 April 2013

Ini ceritaku tentang peringatan Hari Kartini tahun ini, bagaimana ceritamu?


Lomba Masak yang diikuti El-Mujaddid 2 Tahun Silam

Sabtu (20/04) malam, mendaratlah sebuah es em es dari kota yang telah ku tempati selama 3-4 tahun yang lalu; Malang. Es em es itu dari komandan rayon PMII “Perjuangan” Ibnu Aqil yang menjabat kala itu, yaitu Ismail. Bunyi es em es tersebut mengabarkan bahwa esok hari (Ahad, 21 April 2013) akan diadakan lomba masak tiap angkatan di rayon, dalam rangka memperingati hari Kartini. Karna kondisi yang tak mungkin lagi dapat berpartisipasi dalam lomba masak tahun ini, maka ku respon saja dengan mendo’akan semoga acaranya mendulang kesuksesan, layaknya 2 tahun sebelumnya.

Es em es itu pun berhasil menyeret ingatanku untuk kembali ke masa-masa 2 tahun silam. Begini ini ceritanya…

Lomba masak season I

Tatkala aku masih duduk di bangku kuliah semester VI pada tahun 2011, ketika aku dan teman-teman se-angkatan “El-Mujaddid”, dengan begitu antusias dan kompak mengikuti lomba masak yang diadakan oleh pengurus rayon PMII “Perjuangan Ibnu Aqil” dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh pada setiap tanggal 21 April di tiap tahunnya.

Ya, acara lomba masak itu pertama kalinya dihelat oleh rayon tercinta kami pada tahun 2011, saat nahkoda kepemimpinan dipegang oleh sahabat se-angkatan kami – sekaligus ketua angkatan kami – yang berperawakan mirip seperti Budi Anduk, yaitu “Salamun”. Dengan menggandeng LSO Gender yang saat itu dipegang oleh Diana Manzila, salah seorang kader di bawah kami yang cukup berbakat dan potensial, maka diadakanlah lomba masak perdana kala itu.

Sederhana saja konsep yang diusung, yakni lomba diikuti oleh masing-masing angkatan yang masih ‘hidup’ dalam keluarga besar rayon PMII “Perjuangan”Ibnu Aqil. Selain dengan tujuan memperingati hari Kartini, sebagai hari yang dianggap hari lahirnya emansipasi wanita Indonesia, kegiatan tersebut juga dimaksudkan agar terciptanya solidaritas dan kekompakan tiap angkatan, demi memupuk kembali semangat juang dalam memperjuangkan nilai-nilai PMII. Kegiatan itu juga dimaksudkan untuk menjalin kembali tali silaturrahmi antar kader pada tiap angkatan, mulai dari yang sering disebut ‘senior’ sampai ‘junior’.

Pun dengan juri masak, tak perlu kami menyewa dan membayar seorang chef terkenal untuk menilai masakan kami. Cukup kami memanfaatkan dua orang senior kami yang dikenal cukup lihai dalam hal masak memasak, yaitu cak Winartono – mantan ketua rayon kami tahun 2005 – juga cak Mas’ud – mantan Lurah Telas (Teater Sebelas) Ibnu Aqil.

Nah, bagaimana dengan peralatan masak yang kami gunakan waktu itu? Padahal kami membutuhkan paling tidak 6 kompor dan peralatan masak lainnya yang otomatis juga berjumlah 6 sesuai dengan jumlah peserta waktu itu. Dan kondisi rayon kami saat itu hanya memiliki satu buah kompor gas yang masih berfungsi. Maka kami pun tak kehilangan akal, dengan meminjam peralatan sana sini, maka kami berhasil mendapatakan empat kompor pinjaman – kalau tidak salah ingat – yang akan kami gunakan pada acara tersebut. Hanya empat? Iya. Lalu bagaimana dengan dua peserta yang lainnya? Nah, akhirnya mau tidak mau 4 kompor itu kami gunakan secara bergantian.

Tahun 2011, lomba masak itu memang diikuti oleh 6 peseta, yakni angkatan Sangkakala (2005), Zulfikar (2006), El-Fikrah (2007), El-Mujaddid (2008), Pandawa (2009), dan adik terbaru kami yang baru lahir, Sapu Jagad (2010).  Rayon kami memang memiliki sedikit keunikan daripada rayon lain, yakni nama-nama yang telah ‘dikawinkan’ kepada anggotanya ketika baru pertama kali masuk PMII melalui pintu Mapaba.

Layaknya sebuah nama yang diberikan oleh orang tua ketika baru saja seorang bayi memecahkan tangisnya di dunia, sebagai gambaran do’a dan harapan untuk anaknya ke depan, maka tak ada bedanya dengan hal itu. Nama angkatan yang disandingkan juga merupakan gambaran do’a dan harapan, agar kami dapat menjadi pelopor dan pejuang yang memiliki sikap seperti makna dan filosofi nama-nama angkatan tersebut. Sebut saja El-Mujaddid yang memiliki makna “sang pembaharu”, maka harapan yang ditancapkan kepada kami adalah agar kami benar-benar dapat menjadi sang pembaharu dalam hal apapun, terlebih dalam hal memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung dalam PMII. Pun demikian halnya dengan angkatan-angkatan lain yang tentunya memiliki makna positif. Realitanya, apakah kami – El-Mujaddid – benar-benar telah menjadi sang pembaharu? Maka jawabannya akan diserahkan kepada masing-masing kepala, yang tentunya akan menghasilkan penilaian yang sangat beragam.

Memang terkadang hal itu – adanya nama tiap angkatan – seolah menjadi ‘sekat’ dan terkesan mengkotak-kotakkan dari keluarga besar Ibnu Aqil kami. Bahkan tak jarang hal itu juga kerap memunculkan rasa egoisme dan persaingan tinggi pada masing-masing angkatan untuk menjadi yang terbaik. Namun, hal itu juga tak selamanya bermakna negatif. Toh sejak dalam alam kandungan pun kita telah diajari untuk bersaing agar menjadi yang terbaik, dalam hal positif tentunya. Dan diakui atau tidak, hal tersebut juga memberikan dampak positif bagi keluarga besar Ibnu Aqil kami, yang kerap mendapat label sebagai rayon terbaik, terkompak, dan ter-ter lainnya. Bukan berarti sombong, akan tetapi memang begitulah realita yang ada.

Lomba masak perdana itu menggunakan bahan dasar jamur, yang kami beli dari salah seorang senior kami yang berbisnis jamur kala itu. Dengan menggandeng “Olid”, salah seorang chef putri andalan kami – angkatan El-Mujaddid, bersatu padu dan bersingsingkan lengan bajulah kami meramu masakan yang akan kami buat, yang kalau tidak salah bernama “steak jamur”. Sebuah masakan dengan perpaduan antara jamur, daging ayam, dan bumbu-bumbu rempah lainnya tentu saja. Setelah beberapa menit berlalu, maka selesailah masakan kami.

Setelah semua peserta menyelesaikan seluruh masakannya, maka dimulailah penilaian pada hasil masakan kami, setelah sebelumnya kami juga diminta untuk mempresentasikan proses dan filosofi nama masakan kami secara sederhana.

Setelah penilaian selesai, maka diperolehlah keputusan bahwa angkatan “El-Mujaddid” sebagai juara I. Memang bukanlah kepingan emas yang kami dapatkan, bukan pula perak, tembaga, uang, medali atau piala yang kami dapatkan untuk mengganti hasil jerih payah kami. Hanya beberapa “renteng” jajanan ringan lah yang diberikan kepada juara. Namun sekali lagi ku katakan bahwa hal itu tak menjadi masalah yang besar bagi kami. Kami tetaplah merasa puas dan senang akan hal itu, karna kepuasan bathin lantaran kekompakan persaudaraan kami lah yang dapat mengalahkan kepuasan materi.

Setelah itu, kami pun menggelar makan bersama dari masakan yang telah dihasilkan oleh masing-masing angkatan. Dengan beralaskan kertas minyak yang disusun berjajar dan memanjang, layaknya sebuah barisan tentara, dituangkanlah nasi dan lauk diatasnya. Tak perlu menunggu beberapa jam untuk menjadikan makanan itu ludes, karena perut kami yang telah keroncongan dan berdangdutan ria memainkan alat musiknya, telah membuat tangan kami semua bergerak dengan cepat meraup nasi dan menjejalkannya ke dalam mulut kami. Maka tak ayal, dalam beberapa menit saja makanan itu telah ludes dan telah berpindah ke dalam perut kami masing-masing.

Lomba masak season ke-II

Seakan menjadi sebuah agenda wajib layaknya Mapaba dan PKD, maka pada kepengurusan berikutnya juga diadakan kembali agenda lomba masak tiap angkatan. Akan tetapi kala itu, lomba diadakan tepat setelah satu hari ‘pembaptisan’ para wisudawan-wisudawati bulan Mei tahun 2012.

Tak jauh berbeda dengan konsep yang diusung pada lomba masak perdana dulu, baik peserta maupun juri masih tetap sama, selain bahan dasarnya yang kala itu menggunakan “tempe”. Juga, kalau pada tahun 2011 sebelumnya yang masak adalah para kader putri, maka kali ini yang berhak memasak adalah para kader putra. Oh ada satu lagi yang membedakan, yakni kehadiran adik terbaru kami angkatan “El-Fatih (2011)” yang menjadi peserta baru.

Dengan menggandeng salah satu chef putra angkatan kami – El-Mujaddid – yang memiliki nama panggilan sama persis dengan bahan dasar masakan kala itu, yakni “tempe”, kembali berjuanglah kami menggunakan alat-alat masak, demi mendapatkan kembali gelar “juara I” yang berhasil kami sandang satu tahun yang lalu. Resep yang kami gunakan waktu itu adalah membuat “bothok” tempe, yaitu perpaduan antara tempe yang dimasak dengan parutan kelapa, ikan ‘pindang’ dan bumbu rempah-rempah lainnya.

Beberapa menit telah berlalu, dan tibalah saat penjurian hasil masakan kami. Betapa senangnya kami tatkala mengetahui hasil bahwa masakan kami mendapatkan nilai tertinggi untuk kedua kalinya.

Dan seperti ku katakan sebelumnya, bahwa memang tak ada telalu banyak perbedaan dalam lomba masak yang dihelat waktu itu, dengan lomba masak tahun sebelumnya. Hadiah dan tradisi makan bersama pun masih sama dan tetap seperti sebelumnya. 

Ah, aku merindukan masa-masa itu dan membuatku ingin menyapa kalian – El-Mujaddid – bagaimana lomba masak tahun ini? Apa bahan dasarnya? Siapa saja yang masih bisa ikut lomba dari angkatan kita? Karena banyak dari angkatan kita yang telah ‘terusir’ dari kampus dan kota Malang. Apakah El-Mujaddid tetap menjadi juara bertahan untuk ketiga kalinya? Bagaimana ceritanya? Apakah ada hal-hal yang baru, selain peserta lomba dari angkatan 2012 yang tak ku tahu namanya itu? Hehe…

Mari kita ngopi atau nge-teh sejenak untuk berbagi cerita tentang itu Sahabat, mengusung kembali tema Mapaba kita dulu “secangkir the bersama kita”



Jogja, 21 April 2013 (10:41)

Nieza Ayoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar