Lomba Masak yang diikuti El-Mujaddid 2 Tahun Silam
Sabtu
(20/04) malam, mendaratlah sebuah es em es dari kota yang telah ku
tempati selama 3-4 tahun yang lalu; Malang. Es em es itu dari komandan rayon
PMII “Perjuangan” Ibnu Aqil yang menjabat kala itu, yaitu Ismail. Bunyi es
em es tersebut mengabarkan bahwa esok hari (Ahad, 21 April 2013) akan
diadakan lomba masak tiap angkatan di rayon, dalam rangka memperingati hari Kartini.
Karna kondisi yang tak mungkin lagi dapat berpartisipasi dalam lomba masak
tahun ini, maka ku respon saja dengan mendo’akan semoga acaranya mendulang
kesuksesan, layaknya 2 tahun sebelumnya.
Es em es itu pun berhasil menyeret
ingatanku untuk kembali ke masa-masa 2 tahun silam. Begini ini ceritanya…
Lomba masak
season I
Tatkala aku
masih duduk di bangku kuliah semester VI pada tahun 2011, ketika aku dan
teman-teman se-angkatan “El-Mujaddid”, dengan begitu antusias dan kompak
mengikuti lomba masak yang diadakan oleh pengurus rayon PMII “Perjuangan Ibnu
Aqil” dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh pada setiap tanggal 21
April di tiap tahunnya.
Ya, acara
lomba masak itu pertama kalinya dihelat oleh rayon tercinta kami pada tahun
2011, saat nahkoda kepemimpinan dipegang oleh sahabat se-angkatan kami –
sekaligus ketua angkatan kami – yang berperawakan mirip seperti Budi Anduk,
yaitu “Salamun”. Dengan menggandeng LSO Gender yang saat itu dipegang oleh
Diana Manzila, salah seorang kader di bawah kami yang cukup berbakat dan
potensial, maka diadakanlah lomba masak perdana kala itu.
Sederhana
saja konsep yang diusung, yakni lomba diikuti oleh masing-masing angkatan yang
masih ‘hidup’ dalam keluarga besar rayon PMII “Perjuangan”Ibnu Aqil. Selain dengan
tujuan memperingati hari Kartini, sebagai hari yang dianggap hari lahirnya
emansipasi wanita Indonesia, kegiatan tersebut juga dimaksudkan agar
terciptanya solidaritas dan kekompakan tiap angkatan, demi memupuk kembali semangat
juang dalam memperjuangkan nilai-nilai PMII. Kegiatan itu juga dimaksudkan
untuk menjalin kembali tali silaturrahmi antar kader pada tiap angkatan, mulai
dari yang sering disebut ‘senior’ sampai ‘junior’.
Pun dengan
juri masak, tak perlu kami menyewa dan membayar seorang chef terkenal untuk
menilai masakan kami. Cukup kami memanfaatkan dua orang senior kami yang
dikenal cukup lihai dalam hal masak memasak, yaitu cak Winartono – mantan ketua
rayon kami tahun 2005 – juga cak Mas’ud – mantan Lurah Telas (Teater Sebelas)
Ibnu Aqil.
Nah,
bagaimana dengan peralatan masak yang kami gunakan waktu itu? Padahal kami
membutuhkan paling tidak 6 kompor dan peralatan masak lainnya yang otomatis
juga berjumlah 6 sesuai dengan jumlah peserta waktu itu. Dan kondisi rayon kami
saat itu hanya memiliki satu buah kompor gas yang masih berfungsi. Maka kami
pun tak kehilangan akal, dengan meminjam peralatan sana sini, maka kami
berhasil mendapatakan empat kompor pinjaman – kalau tidak salah ingat – yang
akan kami gunakan pada acara tersebut. Hanya empat? Iya. Lalu bagaimana dengan
dua peserta yang lainnya? Nah, akhirnya mau tidak mau 4 kompor itu kami gunakan
secara bergantian.
Tahun 2011,
lomba masak itu memang diikuti oleh 6 peseta, yakni angkatan Sangkakala (2005),
Zulfikar (2006), El-Fikrah (2007), El-Mujaddid (2008), Pandawa (2009), dan adik
terbaru kami yang baru lahir, Sapu Jagad (2010). Rayon kami memang memiliki sedikit keunikan
daripada rayon lain, yakni nama-nama yang telah ‘dikawinkan’ kepada anggotanya
ketika baru pertama kali masuk PMII melalui pintu Mapaba.
Layaknya
sebuah nama yang diberikan oleh orang tua ketika baru saja seorang bayi
memecahkan tangisnya di dunia, sebagai gambaran do’a dan harapan untuk anaknya ke
depan, maka tak ada bedanya dengan hal itu. Nama angkatan yang disandingkan
juga merupakan gambaran do’a dan harapan, agar kami dapat menjadi pelopor dan
pejuang yang memiliki sikap seperti makna dan filosofi nama-nama angkatan
tersebut. Sebut saja El-Mujaddid yang memiliki makna “sang pembaharu”, maka
harapan yang ditancapkan kepada kami adalah agar kami benar-benar dapat menjadi
sang pembaharu dalam hal apapun, terlebih dalam hal memperjuangkan nilai-nilai
yang terkandung dalam PMII. Pun demikian halnya dengan angkatan-angkatan lain yang
tentunya memiliki makna positif. Realitanya, apakah kami – El-Mujaddid –
benar-benar telah menjadi sang pembaharu? Maka jawabannya akan diserahkan
kepada masing-masing kepala, yang tentunya akan menghasilkan penilaian yang sangat
beragam.
Memang
terkadang hal itu – adanya nama tiap angkatan – seolah menjadi ‘sekat’ dan
terkesan mengkotak-kotakkan dari keluarga besar Ibnu Aqil kami. Bahkan tak
jarang hal itu juga kerap memunculkan rasa egoisme dan persaingan tinggi pada
masing-masing angkatan untuk menjadi yang terbaik. Namun, hal itu juga tak
selamanya bermakna negatif. Toh sejak dalam alam kandungan pun kita telah
diajari untuk bersaing agar menjadi yang terbaik, dalam hal positif tentunya.
Dan diakui atau tidak, hal tersebut juga memberikan dampak positif bagi
keluarga besar Ibnu Aqil kami, yang kerap mendapat label sebagai rayon terbaik,
terkompak, dan ter-ter lainnya. Bukan berarti sombong, akan tetapi memang
begitulah realita yang ada.
Lomba masak
perdana itu menggunakan bahan dasar jamur, yang kami beli dari salah seorang
senior kami yang berbisnis jamur kala itu. Dengan menggandeng “Olid”, salah
seorang chef putri andalan kami – angkatan El-Mujaddid, bersatu padu dan
bersingsingkan lengan bajulah kami meramu masakan yang akan kami buat, yang
kalau tidak salah bernama “steak jamur”. Sebuah masakan dengan perpaduan antara
jamur, daging ayam, dan bumbu-bumbu rempah lainnya tentu saja. Setelah beberapa
menit berlalu, maka selesailah masakan kami.
Setelah semua
peserta menyelesaikan seluruh masakannya, maka dimulailah penilaian pada hasil
masakan kami, setelah sebelumnya kami juga diminta untuk mempresentasikan
proses dan filosofi nama masakan kami secara sederhana.
Setelah
penilaian selesai, maka diperolehlah keputusan bahwa angkatan “El-Mujaddid”
sebagai juara I. Memang bukanlah kepingan emas yang kami dapatkan, bukan pula
perak, tembaga, uang, medali atau piala yang kami dapatkan untuk mengganti hasil
jerih payah kami. Hanya beberapa “renteng” jajanan ringan lah yang
diberikan kepada juara. Namun sekali lagi ku katakan bahwa hal itu tak menjadi
masalah yang besar bagi kami. Kami tetaplah merasa puas dan senang akan hal
itu, karna kepuasan bathin lantaran kekompakan persaudaraan kami lah yang dapat
mengalahkan kepuasan materi.
Setelah itu,
kami pun menggelar makan bersama dari masakan yang telah dihasilkan oleh
masing-masing angkatan. Dengan beralaskan kertas minyak yang disusun berjajar
dan memanjang, layaknya sebuah barisan tentara, dituangkanlah nasi dan lauk
diatasnya. Tak perlu menunggu beberapa jam untuk menjadikan makanan itu ludes,
karena perut kami yang telah keroncongan dan berdangdutan ria memainkan alat
musiknya, telah membuat tangan kami semua bergerak dengan cepat meraup nasi dan
menjejalkannya ke dalam mulut kami. Maka tak ayal, dalam beberapa menit saja
makanan itu telah ludes dan telah berpindah ke dalam perut kami masing-masing.
Lomba masak
season ke-II
Seakan
menjadi sebuah agenda wajib layaknya Mapaba dan PKD, maka pada kepengurusan
berikutnya juga diadakan kembali agenda lomba masak tiap angkatan. Akan tetapi
kala itu, lomba diadakan tepat setelah satu hari ‘pembaptisan’ para
wisudawan-wisudawati bulan Mei tahun 2012.
Tak jauh berbeda
dengan konsep yang diusung pada lomba masak perdana dulu, baik peserta maupun
juri masih tetap sama, selain bahan dasarnya yang kala itu menggunakan “tempe”.
Juga, kalau pada tahun 2011 sebelumnya yang masak adalah para kader putri, maka
kali ini yang berhak memasak adalah para kader putra. Oh ada satu lagi yang
membedakan, yakni kehadiran adik terbaru kami angkatan “El-Fatih (2011)” yang
menjadi peserta baru.
Dengan
menggandeng salah satu chef putra angkatan kami – El-Mujaddid – yang memiliki
nama panggilan sama persis dengan bahan dasar masakan kala itu, yakni “tempe”,
kembali berjuanglah kami menggunakan alat-alat masak, demi mendapatkan kembali
gelar “juara I” yang berhasil kami sandang satu tahun yang lalu. Resep yang
kami gunakan waktu itu adalah membuat “bothok” tempe, yaitu perpaduan antara
tempe yang dimasak dengan parutan kelapa, ikan ‘pindang’ dan bumbu
rempah-rempah lainnya.
Beberapa
menit telah berlalu, dan tibalah saat penjurian hasil masakan kami. Betapa senangnya
kami tatkala mengetahui hasil bahwa masakan kami mendapatkan nilai tertinggi
untuk kedua kalinya.
Dan seperti
ku katakan sebelumnya, bahwa memang tak ada telalu banyak perbedaan dalam lomba
masak yang dihelat waktu itu, dengan lomba masak tahun sebelumnya. Hadiah dan
tradisi makan bersama pun masih sama dan tetap seperti sebelumnya.
Ah, aku
merindukan masa-masa itu dan membuatku ingin menyapa kalian – El-Mujaddid –
bagaimana lomba masak tahun ini? Apa bahan dasarnya? Siapa saja yang masih bisa
ikut lomba dari angkatan kita? Karena banyak dari angkatan kita yang telah
‘terusir’ dari kampus dan kota Malang. Apakah El-Mujaddid tetap menjadi juara
bertahan untuk ketiga kalinya? Bagaimana ceritanya? Apakah ada hal-hal yang
baru, selain peserta lomba dari angkatan 2012 yang tak ku tahu namanya itu?
Hehe…
Mari kita
ngopi atau nge-teh sejenak untuk berbagi cerita tentang itu Sahabat, mengusung
kembali tema Mapaba kita dulu “secangkir the bersama kita”…
Jogja, 21
April 2013 (10:41)
Nieza Ayoe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar