“Salah satu hal penting yang dapat kita
tarik sebagai 'benang merah', perihal kenapa Kartini lebih dikenal, daripada
pahlawan perempuan lain, seperti Dewi Sartika, Cut Nya' Dhien, dsb. Simpel,
yaitu karena dia MENULIS.”
Itulah salah satu pernyataan menarik dari
Ibu Siti Ruhaini Dzuhayatin di salah satu ruangan lantai dua gedung rektorat
lama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Diskusi bulanan kali itu merupakan
diskusi perdana yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Rabu (24/04/2013).
Dengan mengusung tema “Islam, Gender,
dan Keindonesiaan”, diskusi pada pagi menjelang siang itu berlangsung cukup
ramai dengan kuota peserta sekitar 30an orang.
Sehubungan dengan momen hari Kartini pada
tanggal 21 April kemarin, Ibu Eni, demikian sapaan akrab dari Ibu Ruhaini
memaparkan tentang Kartini dan emansipasi perempuan. Lebih lanjut lagi, dia
menyitir salah satu ungkapan Harsya Bachtiyar tentang Kartini yang berbunyi,
“Konstruksi kolonial politik etis yang tidak mengakar pada historisitas
Indonesia”.
Kemudian Ibu Eni juga memaparkan hasil
penelitian Joose Cottee dari Belanda, yang telah melakukan analisa terhadap
tulisan-tulisan Kartini, terutama dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dari penelitian yang telah dilakukan
Joose itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada tiga hal yang
menjadikan kenapa Kartini – sampai saat ini – masih menjadi pahlawan wanita
yang paling dielu-elukan oleh masyarakat, akan tetapi tanpa menafikan juga
peran dan sumbangsih pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia lainnya, seperti
Dewi Sartika, Cut Nya’ Dhien, dan sebagainya.
Tiga hal itu adalah:
Pertama,
jejaknya (lebih tepatnya, jejak pemikirannya) terdokumentasi secara sistematis.
Bukti kongkritnya masih dapat kita nikmati sampai sekarang, yaitu buku Habis
Gelap Terbitlah Terang. Dapat kita bayangkan, bagaimana misalnya Kartini
saat itu tidak berkorespondensi dengan sahabatnya dari Eropa; Stella, bisa jadi
jejak pemikirannya juga tidak akan sampai kepada kita sekarang. dan hal itu
tentu hanya akan menjadi sebuah kenangan sejarah yang hanya bisa diketahui oleh
orang-orang yang hidup di zaman tersebut.
Kedua,
objektivikasi dari subjektivikasi. Maksudnya di sini adalah, kita tahu bahwa
surat-surat kartini sebenarnya adalah curahan hatinya dan masalahnya secara
pribadi. Akan tetapi yang menarik bahwa dari masalah pribadi tersebut, Kartini
dapat menyajikan sebuah tulisan yang dapat digeneralisasikan, dan didapati
masalah dan solusinya secara objektif memang masih relevan dengan masa
sekarang.
Ketiga,
keputusan politik. Yakni adanya hegemoni budaya Jawa dalam pentas politik pada
masa itu.
Selanjutnya, dipaparkan oleh Pemateri
tentang “Spektrum Emansipasi Perempuan dan Relasi Keluarga” menurut J.
Zanzoni, yaitu:
Pertama,
property owner. Ini terjadi pada zaman feodalisme klasik, dimana
pandangan ini menyatakan bahwa kemuthlakan kepemilikan keluarga ada di tangan
laki-laki sepenuhnya. Jadi istri dan anak berada dalam genggaman dan kuasa
laki-laki, karena mereka; istri dan anak, hidup dari hasil uang laki-laki. Maka
istri dan anak pun layak dijual, dihadiahkan layaknya sebuah ‘barang’.
Hal ini seperti yang terjadi pada kehidupan
orangtua Kartini pada masa itu. diceritakan bahwa ketika sang suami – ayah
Kartini – memiliki istri baru, maka sesuai adat yang berlaku pada masa itu
adalah, keluarga ningrat harus menikah dengan ningrat pula. Maka ayah kartini
yang memang berdarah ningrat itu, diminta untuk menikahi putri ningrat dari
kerajaan Madura. Walaupun kondisi saat itu dia sudah menikah. Alhasil, karena
istri pertama – Ibu dari Kartini – tidak berdarah ningrat, maka dia pun menjadi
tidak diakui. Belakangan malah justru dia diakui sebagai “pengasuh” dari
Kartini. Benar-benar miris!!!!!
Kedua, Head Complement.
Ini terjadi pada zaman feodalisme modern. Dimana pembagian kerja antara
laki-laki dan perempuan adalah, laki-laki sebagai pencari nafkah dan kepala
keluarga, sedangkan perempuan adalah pengurus keluarga/ rumah.
Ketiga, Senior-Junior Complement.
Ini terjadi pada keluarga Kartini. Dimana pembagian wilayah antara laki-laki
dan perempuan adalah, laki-laki sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga,
sedangkan perempuan selain mengurus
keluarga di rumah, juga memiliki peran sosial di masyarakat, akan tetapi belum
sampai pada peran ekonomi.
Keempat, Senior-Junior Partnership.
Ini terjadi pada masyarakat Muhammadiyah di Kauman (berdasarkan penelitian Ibu
Eni), dimana pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah antara suami
dan istri sama-sama memiliki peran ekonomi dan sosial, walaupun suami sebagai
kepala keluarga.
Kelima, Equal Partnership.
Ini terjadi pada masyarakat pedagang di Laweyan (pada masa tradisional), juga
pada masyarakat modern yang menganut kesetaraan. Dimana dalam hal ini,
pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah keduanya sama-sama
memiliki peran dalam hal kultural, sosial, ekonomi, dan politik.
Begitulah gambaran spectrum emansipasi
perempuan dan relasi keluarga menurut J. Zanzoni. Mungkin dapat menjadi
referensi gambaran model keluarga seperti apa yang akan diterapkan kelak, ^_^
Ada sebuah cerita menarik yang dipaparkan
oleh Ibu Eni waktu itu, tentang perjanjian yang dibuat oleh Kartini dan
suaminya dalam ikatan pernikahan mereka. Akan tetapi na’asnya, cerita itu
seperti dihilangkan begitu saja dari putaran sejarah. Berikut ceritanya,
Jadi Kartini saat menikah dengan
suaminya, dia memberikan tiga hal yang pantang untuk dilanggar dalam ikatan
pernikahan mereka. Tiga hal itu adalah:
1.
Tidak ada
komunikasi dengan bahasa Jawa halus/ karma
2.
Tidak ada
tradisi mencium tangan suami ketika hendak apapun dan kemanapun
3.
Tidak ada
poligami
Suaminya sepakat. Akan tetapi tidak untuk
waktu yang lama, karena beberapa saat setelah itu suaminya melanggar salah satu
isi perjanjian tersebut, dan suaminya melakukan poligami dengan menikahi
perempuan lain.
Hati Kartini pun remuk redam, hancur
lebur, dan dipenuhi dengan amarah yang membuncah. Maka sebagai bentuk atau
sikap pemberontakan terhadap suaminya, praktis setelah suaminya melakukan
poligami, semangat menulis Kartini menurun, ia jadi tidak menulis serajin dan
seintens sebelumnya. Dan satu sikap yang paling memberontak adalah dengan pisah
ranjang dengan suaminya, dan Kartini memilih tidur di shofa sampai ia meninggal!
Sungguh pemberontakan yang luar biasa. Akan
tetapi cerita tersebut seolah-olah dihilangkan dari poros sejarah, mungkin demi
menciptakan imej bahwa Kartini adalah bukan sosok yang tidak berani dan
tidak bisa memberontak terhadap hal-hal yang mengungkungnya. Itu salah besar! Itu
yang perlu kita catat.
Ah, andai Kartini
tidak mati semuda itu; pada usia 25 tahun, maka mungkin saja pemikiran dan
gagasannya tentu akan lebih meluas pada berbagai macam hal, terutama tentang
Islam.
Satu hal lagi yang dapat kita tarik
sebagai sebuah pembelajaran dari seorang Kartini adalah, bagaimana dia berfikir
ala Eropa, tapi bertindak ala Indonesia (Think globally, act locally).
Demikian oleh-oleh yang ku dapat dari
mengikuti kajian perdana di PSW. Semoga ada manfaatnya ya…
Makasih banget kalo udah mau baca
coretan-coretan ini, saran dan kritik yang membangun, silahan disampaikan ya…
gratis kok, ^_^
Yogyakarta, 25 April 2013
15:27
Nieza Ayoe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar