Kamis, 25 April 2013

Ngaji lagi tentang Kartini yuk…



“Salah satu hal penting yang dapat kita tarik sebagai 'benang merah', perihal kenapa Kartini lebih dikenal, daripada pahlawan perempuan lain, seperti Dewi Sartika, Cut Nya' Dhien, dsb. Simpel, yaitu karena dia MENULIS.”

Itulah salah satu pernyataan menarik dari Ibu Siti Ruhaini Dzuhayatin di salah satu ruangan lantai dua gedung rektorat lama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Diskusi bulanan kali itu merupakan diskusi perdana yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (24/04/2013).

Dengan mengusung tema “Islam, Gender, dan Keindonesiaan”, diskusi pada pagi menjelang siang itu berlangsung cukup ramai dengan kuota peserta sekitar 30an orang.

Sehubungan dengan momen hari Kartini pada tanggal 21 April kemarin, Ibu Eni, demikian sapaan akrab dari Ibu Ruhaini memaparkan tentang Kartini dan emansipasi perempuan. Lebih lanjut lagi, dia menyitir salah satu ungkapan Harsya Bachtiyar tentang Kartini yang berbunyi, “Konstruksi kolonial politik etis yang tidak mengakar pada historisitas Indonesia”.

Kemudian Ibu Eni juga memaparkan hasil penelitian Joose Cottee dari Belanda, yang telah melakukan analisa terhadap tulisan-tulisan Kartini, terutama dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Dari penelitian yang telah dilakukan Joose itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada tiga hal yang menjadikan kenapa Kartini – sampai saat ini – masih menjadi pahlawan wanita yang paling dielu-elukan oleh masyarakat, akan tetapi tanpa menafikan juga peran dan sumbangsih pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia lainnya, seperti Dewi Sartika, Cut Nya’ Dhien, dan sebagainya.

Tiga hal itu adalah:

Pertama, jejaknya (lebih tepatnya, jejak pemikirannya) terdokumentasi secara sistematis. Bukti kongkritnya masih dapat kita nikmati sampai sekarang, yaitu buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dapat kita bayangkan, bagaimana misalnya Kartini saat itu tidak berkorespondensi dengan sahabatnya dari Eropa; Stella, bisa jadi jejak pemikirannya juga tidak akan sampai kepada kita sekarang. dan hal itu tentu hanya akan menjadi sebuah kenangan sejarah yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang hidup di zaman tersebut.

Kedua, objektivikasi dari subjektivikasi. Maksudnya di sini adalah, kita tahu bahwa surat-surat kartini sebenarnya adalah curahan hatinya dan masalahnya secara pribadi. Akan tetapi yang menarik bahwa dari masalah pribadi tersebut, Kartini dapat menyajikan sebuah tulisan yang dapat digeneralisasikan, dan didapati masalah dan solusinya secara objektif memang masih relevan dengan masa sekarang.
Ketiga, keputusan politik. Yakni adanya hegemoni budaya Jawa dalam pentas politik pada masa itu.

Selanjutnya, dipaparkan oleh Pemateri tentang “Spektrum Emansipasi Perempuan dan Relasi Keluarga” menurut J. Zanzoni, yaitu:

Pertama, property owner. Ini terjadi pada zaman feodalisme klasik, dimana pandangan ini menyatakan bahwa kemuthlakan kepemilikan keluarga ada di tangan laki-laki sepenuhnya. Jadi istri dan anak berada dalam genggaman dan kuasa laki-laki, karena mereka; istri dan anak, hidup dari hasil uang laki-laki. Maka istri dan anak pun layak dijual, dihadiahkan layaknya sebuah ‘barang’.

Hal ini seperti yang terjadi pada kehidupan orangtua Kartini pada masa itu. diceritakan bahwa ketika sang suami – ayah Kartini – memiliki istri baru, maka sesuai adat yang berlaku pada masa itu adalah, keluarga ningrat harus menikah dengan ningrat pula. Maka ayah kartini yang memang berdarah ningrat itu, diminta untuk menikahi putri ningrat dari kerajaan Madura. Walaupun kondisi saat itu dia sudah menikah. Alhasil, karena istri pertama – Ibu dari Kartini – tidak berdarah ningrat, maka dia pun menjadi tidak diakui. Belakangan malah justru dia diakui sebagai “pengasuh” dari Kartini. Benar-benar miris!!!!!

Kedua, Head Complement. Ini terjadi pada zaman feodalisme modern. Dimana pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan adalah, laki-laki sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga, sedangkan perempuan adalah pengurus keluarga/ rumah.

Ketiga, Senior-Junior Complement. Ini terjadi pada keluarga Kartini. Dimana pembagian wilayah antara laki-laki dan perempuan adalah, laki-laki sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga, sedangkan perempuan  selain mengurus keluarga di rumah, juga memiliki peran sosial di masyarakat, akan tetapi belum sampai pada peran ekonomi.

Keempat, Senior-Junior Partnership. Ini terjadi pada masyarakat Muhammadiyah di Kauman (berdasarkan penelitian Ibu Eni), dimana pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah antara suami dan istri sama-sama memiliki peran ekonomi dan sosial, walaupun suami sebagai kepala keluarga.

Kelima, Equal Partnership. Ini terjadi pada masyarakat pedagang di Laweyan (pada masa tradisional), juga pada masyarakat modern yang menganut kesetaraan. Dimana dalam hal ini, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah keduanya sama-sama memiliki peran dalam hal kultural, sosial, ekonomi, dan politik.

Begitulah gambaran spectrum emansipasi perempuan dan relasi keluarga menurut J. Zanzoni. Mungkin dapat menjadi referensi gambaran model keluarga seperti apa yang akan diterapkan kelak, ^_^

Ada sebuah cerita menarik yang dipaparkan oleh Ibu Eni waktu itu, tentang perjanjian yang dibuat oleh Kartini dan suaminya dalam ikatan pernikahan mereka. Akan tetapi na’asnya, cerita itu seperti dihilangkan begitu saja dari putaran sejarah. Berikut ceritanya,

Jadi Kartini saat menikah dengan suaminya, dia memberikan tiga hal yang pantang untuk dilanggar dalam ikatan pernikahan mereka. Tiga hal itu adalah:

1.    Tidak ada komunikasi dengan bahasa Jawa halus/ karma
2.    Tidak ada tradisi mencium tangan suami ketika hendak apapun dan kemanapun
3.    Tidak ada poligami

Suaminya sepakat. Akan tetapi tidak untuk waktu yang lama, karena beberapa saat setelah itu suaminya melanggar salah satu isi perjanjian tersebut, dan suaminya melakukan poligami dengan menikahi perempuan lain.

Hati Kartini pun remuk redam, hancur lebur, dan dipenuhi dengan amarah yang membuncah. Maka sebagai bentuk atau sikap pemberontakan terhadap suaminya, praktis setelah suaminya melakukan poligami, semangat menulis Kartini menurun, ia jadi tidak menulis serajin dan seintens sebelumnya. Dan satu sikap yang paling memberontak adalah dengan pisah ranjang dengan suaminya, dan Kartini memilih tidur di shofa sampai ia meninggal!

Sungguh pemberontakan yang luar biasa. Akan tetapi cerita tersebut seolah-olah dihilangkan dari poros sejarah, mungkin demi menciptakan imej bahwa Kartini adalah bukan sosok yang tidak berani dan tidak bisa memberontak terhadap hal-hal yang mengungkungnya. Itu salah besar! Itu yang perlu kita catat.

Ah, andai Kartini tidak mati semuda itu; pada usia 25 tahun, maka mungkin saja pemikiran dan gagasannya tentu akan lebih meluas pada berbagai macam hal, terutama tentang Islam.

Satu hal lagi yang dapat kita tarik sebagai sebuah pembelajaran dari seorang Kartini adalah, bagaimana dia berfikir ala Eropa, tapi bertindak ala Indonesia (Think globally, act locally).

Demikian oleh-oleh yang ku dapat dari mengikuti kajian perdana di PSW. Semoga ada manfaatnya ya…

Makasih banget kalo udah mau baca coretan-coretan ini, saran dan kritik yang membangun, silahan disampaikan ya… gratis kok, ^_^


Yogyakarta, 25 April 2013
15:27

Nieza Ayoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar