Rabu, 14 November 2012

Cerita yang terselip di balik duka


Cerita kelas

Ruangan kelas begitu gaduh, maklum karena sudah kelas III Aliyah, alias III SMA, (dulu; bahasa Talun-nya, kelas VI) dan waktu itu adalah jam terakhir pelajaran hari Kamis. Sesuai dengan tradisi yang ada di sekolah, setiap 2 jam terakhir hari kamis diisi dengan pelajaran latihan ‘unjuk gigi’ di hadapan audience yang beragam, mulai dari kelas III Tsanawiy sampai kelas III Aliyah, yaitu ‘muhadloroh’ (pidato).

Sebenarnya waktu itu bukanlah sekedar untuk latihan pidato saja, melainkan banyak juga aktifitas lain, seperti saat dimana PPM (semacam OSIS) ‘beraksi’ menjalankan tugasnya, mulai dari keliling ke masing-masing kelas, meriksa buku-buku pidato, meriksa kuku panjang, sekaligus waktu latihan upacara bendera (bagi yang bertugas) guna upacara rutinan setiap sabtu pagi di lapangan sekolah tercinta.

Akan tetapi hari itu, aktifitas muhadloroh itu tidak berjalan seperti biasa. PPM yang biasanya berseliweran keluar-masuk kelas pun tidak digubris oleh semua penghuni kelas VI-A-2 (simbol ‘2’ memiliki makna bahwa berarti semua penghuni kelas itu adalah perempuan, sedangkan laki-laki memakai simbol ‘1’) waktu itu. Semua pada sibuk dan rame dengan aktifitas masing-masing sesuka hati mereka. Ada yang sholawatan, bergosip ria, tidur, baca buku, makan jajan, dan sebagainya.

Maklum, beberapa penghuni kelas itu terdiri dari para PPM yg sudah purna di kelas itu, yang baru aja lepas dari jabatannya dan sedang menikmati kebebasannya dari tugas-tugasnya ketika masih menjadi PPM dulu. Akhirnya kelas itu pun menjadi tak terkendali dan menjadi sangat gaduh.

Para PPM baru yang bolak-balik masuk kelas guna melerai kegaduhan dan agar kami melaksanakan muhadloroh seperti layaknya kelas lain pun sia-sia saja, karena hampir semua penghuni kelas (terutama para mantan PPM) telah sepakat untuk ‘menguji’ para PPM baru itu, “biar mentalnya kuat”, seperti itu alasan yang dipaparkan teman-teman.

Sampai akhirnya, tiba-tiba datanglah sesosok laki-laki kurus, tinggi dan hitam manis yang sudah sangat tidak asing di mata kita, masuk dengan menggeleng-gelengkan kepala keheranan melihat tingkah anak-anak didiknya. Kontan saja anak-anak langsung terdiam semua, sambil menahan tawa dan malu.

Dan barangkali karena saking geramnya, akhirnya laki-laki itu pun mengambil sebuah buku kecil dan memukulkannya ke masing-masing kepala seluruh penghuni kelas itu, sembari ‘memarahi’ kami. Kami menahan tawa karena ‘saking menahan malunya’ kepada sosok laki-laki yang kami segani dan hormati itu, bahkan sudah kami anggap sebagai Bapak kedua kami dan kami pun punya panggilan khusus kepada beliau, yaitu ‘papi’.
Ya, beliau adalah kabag kesiswaan sekolah, sekaligus wali kelas kami tercinta waktu itu, yaitu Drs. Mahmudi Thoha (Alm), yang belakangan ketika kami sudah pada lulus, sampai akhir hayatnya (Rabu, 14 Nopember 2012, bertepatan dengan akhir Tahun 1433 H), beliau mendapat amanah dan kepercayaan menjadi kepala sekolah MA di sekolah kami tersebut.

Akhirnya suasana kelas menjadi cukup terkendali pasca itu dan kami (terutama mantan PPM) hanya bisa menahan tawa dan malu karena peristiwa itu.

Ternyata sekarang Beliau sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, Ah, ustadz, maafin anak-anakmu yang agak ‘bandel’ dan selalu menyusahkanmu ini ...

***

Pertemuan dan Pesan beliau yang ternyata, ‘Terakhir’.

Sampai saat ini pun sebenarnya masih sulit untuk mempercayai bahwa beliau sudah meninggalkan kami untuk selama-lamanya, karena kesan tentang beliau masih terpatri sangat kuat dalam benak kami. Mulai dari ketika beliau memberi pelajaran ‘ushul fiqh’ kepada kami di kelas, sampai pada saat-saat di luar kelas; ketika rapat dengan bagian kesiswaan, berpapasan di tengah jalan, ngobrol rutinan tiap tahun di rumah beliau ketika hari raya, dan sebagainya.

Sekali lagi, beliau adalah sosok yang sangat disegani karena kewibawaan, kebijakan, ketegasan dan kedisiplinan beliau. Dan beliau juga terbilang masih ‘muda’ dan terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Yah, mungkin memang ini jalan terbaik untuk beliau yang diberikan-Nya, toh ‘maut’ memang tidak pernah pandang usia.

Masih terekam sangat jelas sekali di ingatan, ketika hari raya Idul Fitri kemarin beliau masih tampak sehat walaupun sebelumnya telah menderita sakit selama kurang lebih 2 bulan. Ya, aku memang selalu menyempatkan diri paling tidak satu tahun sekali (ketika hari raya) untuk bertandang ke rumah beliau. Sampai ada temanku yang agak heran melihat aktifitas rutinku setiap tahun itu.

“nggak tau ya, aku kok seperti beban mental gitu kalo gak ke rumah beliau pas hari raya”,

 jawabku pada temanku ketika dia mengungkapkan keheranannya. Beliau juga masih ‘enak’ diajak ngobrol, dan waktu itu beliau berpesan untukku agar mencarikan film OMAR.

“itu filmnya bagus buat latihan maharah istima’ wi, karena bahasa Arabnya fushha. Saya sudah nyari-nyari di youtube itu juga nggak nemu-nemu. Nanti kalo ada yang punya, kabari ya wi”.

Aku pun menganggukkan kepala, tanda sepakat dengan pendapat beliau itu.

Kurang lebih seminggu sebelum ada berita tentang mangkatnya beliau, ketika aku sedang bertandang ke Book Fair di Jogja yang diadakan oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) di Gedung Wanitatama yang terletak persis di sebelah barat kampus UIN, kebetulan ada yang membuka stand VCD dan DVD serta e-book, dan ada Serial film OMAR disana sebanyak 6 DVD.

Akupun seketika teringat pesan beliau, dan segera menghampiri penjaga stand tersebut untuk menanyakan harga serial tersebut. Selain itu secara pribadi aku juga sangat menginginkan film tersebut.

“260 ribu mbak”,

wah, lumayan juga harganya, batinku.

Ingin sekali membelinya dan memperlihatkannya kepada beliau, tapi kenyataan berkata lain. Aku musti mengurungkan niatku karena kondisi kantong yang kurang mendukung. Maklum, mahasiswa. Ah, kapan-kapan saja lah masih bisa, Pikirku.

***

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un telah meninggal dunia ust. Mahmudi, mohon kiriman do’a dari para alumni dan murid2 nya yang pernah diajar. Lahumul fatihah”.

Pagi sekali ketika adzan subuh baru saja berkumandang, sebagai tanda agar umat muslim segera bangun dari ‘mati sementara’nya untuk segera melaksanakan sholat yang paling berat untuk dilakukan itu meskipun hanya 2 rakaat saja, SMS dari temanku yang di Semarang tersebut masuk di HP-ku.

Mata ini yang awalnya masih sangat berat untuk terbuka, kontan saja langsung terbelalak kaget membaca SMS tersebut. Seketika batinku langsung bergemuruh membaca SMS itu, dan rasa tidak percaya memenuhi fikiranku waktu itu. Sempat termenung beberapa saat, lantaran saking kagetnya, tapi akhirnya aku putuskan untuk tidak berlama-lama berkutat dengan batinku itu.

Segera aku mengambil air wudlu dan ‘laporan’ dulu kepada-Nya. Ba’da sholat aku pun tidak lupa mengirimkan fatihah kepada beliau. Sempat terselip sedikit penyesalan di dada, karena tidak menyempatkan diri membesuk beliau, ketika kemarin hari raya Idul Adha mendengar kabar bahwa beliau masuk Rumah Sakit lagi. Rasa ikhlas kehilangan beliau untuk selama-lamanya pun masih belum pergi dari batinku. Karena memang secara pribadi aku masih punya banyak ‘hutang’ ke beliau.

Masih terekam sangat jelas juga ketika beliau melontarkan pertanyaan yang sedikit ‘menggelitik’;

“Nikahnya kapan wi?”

aku hanya tersenyum, ketika hari raya kemarin sewaktu bertandang ke rumah beliau, pertanyaan itu dilontarkan. Walaupun sebenarnya itu pertanyaan yang wajar sekali dilontarkan kepada murid-murid perempuannya yang sudah lulus S-1.

“Nanti kalo sudah waktunya pak”, jawabku sekenanya sambil tersenyum.

Beliau pun ikut tersenyum mendengar jawabanku itu. Untungnya hanya sampai di situ saja obrolan beliau tentang ‘nikah’, (mungkin karena beliau memahami kondisi sikis-ku yang habis ditinggal nikah oleh sang mantan yang kebetulan beliau juga sangat kenal orangnya itu).

Ketika akan beranjak pulang, beliau berpesan, yang ternyata itu merupakan ‘pesan terakhir’ beliau kepadaku agar serius kuliah dulu, tidak usah terlalu terburu-buru memasang janur kuning di rumah. Mumpung masih muda, begitu kata beliau.

Aku meng-iya-kan saja pesan beliau tersebut. Dan ternyata, harapanku agar nanti beliau menghadiri undangan di hari bahagiaku itu pun harus pupus karena ternyata Allah telah memanggilnya terlebih dahulu.

Sekarang beliau sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Hanya untaian do’a yang bisa kita kirim kepada beliau, semoga beliau mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah, di ampuni segala dosa-dosanya, di terima segala amal baiknya, serta keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan oleh Allah. Amin ya Rabbal ‘alamin...

.....“selamat jalan Bapak. Ilmu, pelajaran, pengabdian, dan pengorbanan yang telah engkau berikan kepada kami (semua muridmu) dan juga kepada pondok Attanwir tercinta, tentu akan masih sangat membekas di benak masing-masing, semoga Bapak mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya”.....
***

Ngayogyakartahadiningrat, 15 Nopember 2012
07:25

Jumat, 09 November 2012

10 November 2012 PILKADA Bojonegoro, Pada tau kan?



Ya, hari ini merupakan hari yang di nanti-nantikan oleh seluruh warga Bojonegoro. Bukan karena hari ini hari lahirnya Bojonegoro, akan tetapi karena hari ini adalah hari PILKADA 2012 alias ‘pemilihan Bupati’, yang kebetulan bertepatan dengan Hari Pahlawan (10 November).

Dengan sudah terusungnya 5 Calon Bupati, yang tentunya berasal dari berbagai macam daerah dan latar belakang yang bermacam-macam, yaitu:
1.    Drs. H. Sunyoto, M.Si dan Drs. Setyo Hartono, MM (Demokrat, Gerindra, PAN)
2.    Dr. H. M. Thalhah, S.H, M.Hum dan Budiyanto (Golkar)
3.    H. M. Choiri, S.H, M.Si dan Drs. H. Untung Basuki, M.Si (PKB, PDI, PPP, PKNU, Hanura, PKS, PNBKI, PNPI)
4.    Drh. Sarif Usman dan Dra. Hj. Syamsiah Rahim, MM (Independen)
5.    Dr. Hj. Andromeda Qomariyah, Dra., MM dan Ir. Sigit Budi Ismu Hariyanto (Independen)

Juga setelah melewati berbagai macam ‘prosesi’ layaknya pesta demokrasi yang lain, mulai dari Pembentukan Visi Misi, Tim Sukses, Kampanye, sampai penyusunan strategi yang ‘jitu’dari masing-masing calon demi bisa menaklukkan lawan, dan sebagainya, maka hari ini adalah ‘puncaknya’. Ya, hari ini adalah puncak dari berbagai macam rangkaian pesta demokrasi yang sebelumnya telah disiapkan begitu lama dan matang. Hari ini adalah hari penentuan, dimana warga Bojonegoro akan memilih siapa yang dianggapnya ‘layak’ untuk menjadi Bupati Bojonegoro.

Walaupun pada hari ini mungkin beberapa warga tidak bisa ikut menyumbangkan suara secara langsung (baca; mencoblos), tentunya karena berbagai macam hal, dan walaupun selama ini ada beberapa warga lebih sering tidak menghabiskan setiap helaan nafas dan detakan jantungnya di daerah kelahiran sendiri (baca; Bojonegoro), akan tetapi (seharusnya) kita tidak bisa ‘cuek’ begitu saja terhadap apa yang terjadi di Kota Angling Dharma. Toh tidak ruginya juga walaupun hanya sekedar mengetahui siapa saja dan dari mana saja yang akan malenggang pada panggung PILKADA kali ini, walaupun tidak dapat berpastisipasi secara langsung.

Besar dan banyaknya partai dan mendukung, bukan jaminan untuk bisa menang, karena rakyat ‘hari ini’ kurang membutuhkan itu. Karena faktor ‘FIGUR’lah yang terutama akan dapat masuk ke hati rakyat, sehingga bisa menggerakkan hati mereka untuk tidak Gol-Put. Ya, sekali lagi, rakyat lebih membutuhkan FIGUR. Contoh nyata yang sudah terbukti adalah ketika terpilihnya Jokowi pada PILKADA Jakarta kemaren.

Semoga dari PILKADA Bojonegoro kali ini, kita (warga Bojonegoro) benar-benar bisa mendapatkan Pemimpin yang TERBAIK dan DAPAT MEMPERBAIKI dalam semua lini dan bagi semua kalangan. Ya, semoga!