Jumat, 26 April 2013

Gusdurian ‘Ngaji’ RUU Ormas




Yogyakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang Organisasi Masyarakat (RUU Ormas) yang masih menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan, membuat SekNas GUSDURian tergerak untuk mendiskusikan hal itu.

Dengan mengangkat tema “Kontroversi RUU Ormas”, diskusi berlangsung santai dan cukup aktif, Jum’at (26/04) malam, dengan pembicara Bapak Zuly Qodir yang merupakan Dosen salah satu Universitas di Yogyakarta.

Diskusi ini merupakan program Seknas Gusdurian yang dilaksanakan pada hari Jum’at terakhir setiap bulan di Griya GUSDURian, Jl. Damai Gg. Sunan Giri No.33 B Sindulharjo Ngaglik Sleman.

Menurut Zuly Qodir, ada tiga hal yang perlu dicermati pada proses kemunculan RUU Ormas.

Pertama, Negara memandang bahwa masyarakat sipil itu susah diatur, maka perlu diadakannya UU Ormas. Hal itu tentu tidak benar, karena pada kenyataannya masyarakat sipil-lah yang paling mudah untuk diatur.  

Kedua, jika memang tujuan diadakannya RUU Ormas adalah untuk membubarkan Ormas – terutama Ormas keagamaan – yang suka membuat kekerasan dan keonaran, maka seharusnya hanya perlu memaksimalkan saja UU yang telah disusun sebelumnya; UU tentang pembubaran Ormas bergaris keras.

Ketiga, seharusnya Negara itu memandang Ormas sebagai mitra kerja Negara.

“Kontribusi Ormas, misalnya NU itu tidak bisa diremehkan lho oleh Negara. Misalnya saja, kalau nggak ada NU ya mungkin kita nggak bisa mengaji”, papar pemateri yang segera diikuti gelak tawa para peserta.

RUU Ormas memang dinilai masih belum memiliki tujuan dan konsep yang jelas. Hal tersebut dapat diamati dari penggalan setiap bab maupun pasal yang terdapat di dalamnya. Dan RUU Ormas pun tidak akan dapat menjamin terciptanya kondisi yang lebih baik.

Maka, solusi yang dapat ditawarkan agar tidak disahkannya RUU Ormas adalah dengan menegakkan kembali hukum yang telah ada, atau dengan gerakan persatuan massa yang sangat kuat, tungkas Zuly di akhir diskusi malam itu.


Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’

Kamis, 25 April 2013

Ngaji lagi tentang Kartini yuk…



“Salah satu hal penting yang dapat kita tarik sebagai 'benang merah', perihal kenapa Kartini lebih dikenal, daripada pahlawan perempuan lain, seperti Dewi Sartika, Cut Nya' Dhien, dsb. Simpel, yaitu karena dia MENULIS.”

Itulah salah satu pernyataan menarik dari Ibu Siti Ruhaini Dzuhayatin di salah satu ruangan lantai dua gedung rektorat lama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Diskusi bulanan kali itu merupakan diskusi perdana yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (24/04/2013).

Dengan mengusung tema “Islam, Gender, dan Keindonesiaan”, diskusi pada pagi menjelang siang itu berlangsung cukup ramai dengan kuota peserta sekitar 30an orang.

Sehubungan dengan momen hari Kartini pada tanggal 21 April kemarin, Ibu Eni, demikian sapaan akrab dari Ibu Ruhaini memaparkan tentang Kartini dan emansipasi perempuan. Lebih lanjut lagi, dia menyitir salah satu ungkapan Harsya Bachtiyar tentang Kartini yang berbunyi, “Konstruksi kolonial politik etis yang tidak mengakar pada historisitas Indonesia”.

Kemudian Ibu Eni juga memaparkan hasil penelitian Joose Cottee dari Belanda, yang telah melakukan analisa terhadap tulisan-tulisan Kartini, terutama dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Dari penelitian yang telah dilakukan Joose itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada tiga hal yang menjadikan kenapa Kartini – sampai saat ini – masih menjadi pahlawan wanita yang paling dielu-elukan oleh masyarakat, akan tetapi tanpa menafikan juga peran dan sumbangsih pahlawan-pahlawan perempuan Indonesia lainnya, seperti Dewi Sartika, Cut Nya’ Dhien, dan sebagainya.

Tiga hal itu adalah:

Pertama, jejaknya (lebih tepatnya, jejak pemikirannya) terdokumentasi secara sistematis. Bukti kongkritnya masih dapat kita nikmati sampai sekarang, yaitu buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Dapat kita bayangkan, bagaimana misalnya Kartini saat itu tidak berkorespondensi dengan sahabatnya dari Eropa; Stella, bisa jadi jejak pemikirannya juga tidak akan sampai kepada kita sekarang. dan hal itu tentu hanya akan menjadi sebuah kenangan sejarah yang hanya bisa diketahui oleh orang-orang yang hidup di zaman tersebut.

Kedua, objektivikasi dari subjektivikasi. Maksudnya di sini adalah, kita tahu bahwa surat-surat kartini sebenarnya adalah curahan hatinya dan masalahnya secara pribadi. Akan tetapi yang menarik bahwa dari masalah pribadi tersebut, Kartini dapat menyajikan sebuah tulisan yang dapat digeneralisasikan, dan didapati masalah dan solusinya secara objektif memang masih relevan dengan masa sekarang.
Ketiga, keputusan politik. Yakni adanya hegemoni budaya Jawa dalam pentas politik pada masa itu.

Selanjutnya, dipaparkan oleh Pemateri tentang “Spektrum Emansipasi Perempuan dan Relasi Keluarga” menurut J. Zanzoni, yaitu:

Pertama, property owner. Ini terjadi pada zaman feodalisme klasik, dimana pandangan ini menyatakan bahwa kemuthlakan kepemilikan keluarga ada di tangan laki-laki sepenuhnya. Jadi istri dan anak berada dalam genggaman dan kuasa laki-laki, karena mereka; istri dan anak, hidup dari hasil uang laki-laki. Maka istri dan anak pun layak dijual, dihadiahkan layaknya sebuah ‘barang’.

Hal ini seperti yang terjadi pada kehidupan orangtua Kartini pada masa itu. diceritakan bahwa ketika sang suami – ayah Kartini – memiliki istri baru, maka sesuai adat yang berlaku pada masa itu adalah, keluarga ningrat harus menikah dengan ningrat pula. Maka ayah kartini yang memang berdarah ningrat itu, diminta untuk menikahi putri ningrat dari kerajaan Madura. Walaupun kondisi saat itu dia sudah menikah. Alhasil, karena istri pertama – Ibu dari Kartini – tidak berdarah ningrat, maka dia pun menjadi tidak diakui. Belakangan malah justru dia diakui sebagai “pengasuh” dari Kartini. Benar-benar miris!!!!!

Kedua, Head Complement. Ini terjadi pada zaman feodalisme modern. Dimana pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan adalah, laki-laki sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga, sedangkan perempuan adalah pengurus keluarga/ rumah.

Ketiga, Senior-Junior Complement. Ini terjadi pada keluarga Kartini. Dimana pembagian wilayah antara laki-laki dan perempuan adalah, laki-laki sebagai pencari nafkah dan kepala keluarga, sedangkan perempuan  selain mengurus keluarga di rumah, juga memiliki peran sosial di masyarakat, akan tetapi belum sampai pada peran ekonomi.

Keempat, Senior-Junior Partnership. Ini terjadi pada masyarakat Muhammadiyah di Kauman (berdasarkan penelitian Ibu Eni), dimana pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah antara suami dan istri sama-sama memiliki peran ekonomi dan sosial, walaupun suami sebagai kepala keluarga.

Kelima, Equal Partnership. Ini terjadi pada masyarakat pedagang di Laweyan (pada masa tradisional), juga pada masyarakat modern yang menganut kesetaraan. Dimana dalam hal ini, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan adalah keduanya sama-sama memiliki peran dalam hal kultural, sosial, ekonomi, dan politik.

Begitulah gambaran spectrum emansipasi perempuan dan relasi keluarga menurut J. Zanzoni. Mungkin dapat menjadi referensi gambaran model keluarga seperti apa yang akan diterapkan kelak, ^_^

Ada sebuah cerita menarik yang dipaparkan oleh Ibu Eni waktu itu, tentang perjanjian yang dibuat oleh Kartini dan suaminya dalam ikatan pernikahan mereka. Akan tetapi na’asnya, cerita itu seperti dihilangkan begitu saja dari putaran sejarah. Berikut ceritanya,

Jadi Kartini saat menikah dengan suaminya, dia memberikan tiga hal yang pantang untuk dilanggar dalam ikatan pernikahan mereka. Tiga hal itu adalah:

1.    Tidak ada komunikasi dengan bahasa Jawa halus/ karma
2.    Tidak ada tradisi mencium tangan suami ketika hendak apapun dan kemanapun
3.    Tidak ada poligami

Suaminya sepakat. Akan tetapi tidak untuk waktu yang lama, karena beberapa saat setelah itu suaminya melanggar salah satu isi perjanjian tersebut, dan suaminya melakukan poligami dengan menikahi perempuan lain.

Hati Kartini pun remuk redam, hancur lebur, dan dipenuhi dengan amarah yang membuncah. Maka sebagai bentuk atau sikap pemberontakan terhadap suaminya, praktis setelah suaminya melakukan poligami, semangat menulis Kartini menurun, ia jadi tidak menulis serajin dan seintens sebelumnya. Dan satu sikap yang paling memberontak adalah dengan pisah ranjang dengan suaminya, dan Kartini memilih tidur di shofa sampai ia meninggal!

Sungguh pemberontakan yang luar biasa. Akan tetapi cerita tersebut seolah-olah dihilangkan dari poros sejarah, mungkin demi menciptakan imej bahwa Kartini adalah bukan sosok yang tidak berani dan tidak bisa memberontak terhadap hal-hal yang mengungkungnya. Itu salah besar! Itu yang perlu kita catat.

Ah, andai Kartini tidak mati semuda itu; pada usia 25 tahun, maka mungkin saja pemikiran dan gagasannya tentu akan lebih meluas pada berbagai macam hal, terutama tentang Islam.

Satu hal lagi yang dapat kita tarik sebagai sebuah pembelajaran dari seorang Kartini adalah, bagaimana dia berfikir ala Eropa, tapi bertindak ala Indonesia (Think globally, act locally).

Demikian oleh-oleh yang ku dapat dari mengikuti kajian perdana di PSW. Semoga ada manfaatnya ya…

Makasih banget kalo udah mau baca coretan-coretan ini, saran dan kritik yang membangun, silahan disampaikan ya… gratis kok, ^_^


Yogyakarta, 25 April 2013
15:27

Nieza Ayoe

Minggu, 21 April 2013

Latihan Nulis Berita (II), Monggo kritik dan sarannya ya buat pemula :)


HARI KARTINI
KOPRI PMII D.I Yogyakarta: Kami Menolak Sanggul dan Kebaya dalam Perayaan Kartini


Yogyakarta, NU Online
Dalam rangka memperingati hari Kartini, KOPRI (Korp PMII Putri) Daerah Istimewa Yogyakarta, bekerjasama dengan berbagai organisasi dan komunitas Yogyakarta, menggelar acara “Malam untuk Kartini: Membaca Surat-Surat Kartini Dan Melanjutkan Perjuangan Kemerdekaan Perempuan” di depan Gedung Agung, Yogyakarta, Minggu (21/04/13) malam.

Selain KOPRI, acara ini diikuti oleh berbagai individu maupun komunitas peduli perempuan yang ada di kota Yogyakarta, seperti Perempuan Mahardika Yogyakarta, Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), Sarinah, KAMMI, Ekspresi, Gema Hijabers Community, Ninas Real Madrid Yogyakarta, dan sebagainya.

Menurut ketua umum KOPRI DI Yogyakarta Icha Sulaiman, kegiatan tersebut dilaksanakan untuk membongkar kebohongan-kebohongan sejarah tentang Kartini yang selama ini telah dibuat oleh para penguasa orde baru.

“Maka kembali menyerukan membaca surat-surat Kartini, melihat kembali dengan kritis apa yang dikehendakinya, dan tentu meneruskan perjuangannya adalah hal yang penting demi melawan mainstream yang telah mengakar selama ini”, tutur Icha, sapaan akrab ketua KOPRI DI Yogyakarta tersebut.   

Acara malam itu memang terlihat berbeda dengan mayoritas acara peringatan hari Kartini selama ini, dimana hampir semua pelaksanaanya adalah dengan mengadakan acara berkebaya, bersanggul, masak-memasak, rias-merias, dan sebagainya. Menurutnya, perayaan semacam itu malah akan semakin mendukung domestika perempuan, yang sejatinya begitu ditentang oleh Kartini dalam surat-suratnya.

“Justru kegiatan semacam itu yang sebenarnya bertentangan dengan nilai yang terkandung dalam surat-surat Kartini. Jadi, agenda ini memang kami gelar tanpa sanggul, kebaya, masak-memasak ataupun rias-merias ala orde baru, dan kami menentangnya. Melanjutkan perjuangannya, melawan kekerasan seksual dan pemiskinan terhadap perempuan adalah kepentingan kami. Kartini sudah memulai, mari kita lanjutkan perjuangannya”, tandas perempuan yang saat ini sedang menjalankan studi di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Adapun selain pembacaan 21 surat Kartini kepada sahabatnya; Stella oleh perempuan-perempuan dari berbagai komunitas, acara ini juga dimeriahkan oleh sejumlah aktifis laki-laki PMII dengan membacakan orasi dan puisi tentang perempuan.

“Hari Kartini tidak hanya milik kaum perempuan, tapi milik kita semua. Dan dalam konsep agama apapun, sebenarnya sangat menjunjung tinggi perempuan. Sejarah telah membuktikan, bahwa banyak sektor yang telah dipelopori oleh perempuan, seperti pertanian. Maka Kartini merupakan contoh yang patut kita tiru selanjutnya”, papar Imam S Arizal selaku Ketua Umum Cabang PMII DI Yogyakarta dalam orasinya.

Acara berlangsung dengan santai dan ramai. Selain karena lokasi yang tepat berada di kawasan titik nol kilometer sebagai pusat keramaian kota Yogyakarta, seluruh peserta yang hadir begitu antusias membacakan surat-surat Kartini, pun juga dengan para waria-waria yang dengan penuh semangat jiwa peduli perempuan, turut serta membacakan beberapa surat Kartini.

Para peserta juga terlihat begitu menikmati, serta merespon positif acara tersebut. Mila, salah seorang peserta pembaca surat Kartini yang berasal dari komunitas Sarinah, menuturkan bahwa ia sangat mendukung gerakan semacam ini. “Saya menilai kegiatan semacam ini positif. Walaupun tidak memberikan bukti kongkrit, tapi setidaknya ada upaya pelurusan terhadap kegiatan perayaan dan pemaknaan tentang perjuangan Kartini yang telah menjamur dalam masyarakat selama ini. Salah satunya adalah dengan membaca kembali surat-surat Kartini”, papar perempuan yang merupakan mahasiswa Filsafat UGM tersebut.

Para panitia penyelenggara kegiatan ini juga mengharapkan bahwa kegiatan malam itu bukan sebatas ceremonial belaka, dimana terjadi ke-mandeg-an setelah acara selesai dan tidak ada tindak lanjut. “kita akan dan harus tetap memperjuangkan cita-cita Kartini, dan ke depan akan tetap diadakan diskusi sebagai kelanjutan dari kegiatan ini”, tutur salah seorang panitia di penghujung acara.


Kontributor : Dwi Khoirotun Nisa’


Latihan Nulis Berita (I), Monggo kritik dan sarannya ya buat pemula :)


HARLAH KE-53 PMII
PC PMII D.I Yogyakarta Helat Pagelaran Seni dan Budaya Nusantara



Yogyakarta, NU Online
Pagelaran seni dan budaya nusantara yang diadakan oleh Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Sabtu (20/04) malam berlangsung cukup ramai. Tampak para aktivis PMII datang secara berduyun-duyun memadati gedung Multi Purpose (MP) UIN Sunan Kalijaga sebagai lokasi acara yang terletak di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta.

Dengan mengangkat tema “Menggerakkan Tradisi Menuju Perdamaian NKRI”, acara ini merupakan puncak rangkaian Pekan Sahabat Nasional 2013 yang telah berlangsung sejak 16 April 2013, dalam rangka memperingati hari lahir PMII ke-53.

Acara ini dihelat sebagai salah satu bentuk tanggungjawab mahasiswa dalam rangka mewujudkan perdamaian NKRI sebagai salah satu dari empat pilar Negeri ini yang harus dipertahankan. Jadi, mahasiswa sudah tidak sepatutnya lagi hanya menggelar aksi turun di jalan, tapi juga harus mampu berkontribusi dengan kongkrit demi mewujudkan perdamaian NKRI. Demikian diungkapkan Imam S Arizal selaku ketua umum cabang PMII D.I Yogaykarta dalam sambutannya malam itu.

Karena ke depan, Indonesia tidak hanya akan mendapatkan tantangan dari luar saja, akan tetapi juga dari dalam negeri sendiri. Dan hari ini, bangsa kita tiada terasa telah dijajah oleh ‘orang dalam’ sendiri demi kepentingan sesaat, semisal beberapa kasus kekerasan dan tindakan premanisme yang belakangan kerap menghebohkan kota dengan slogan berhati nyaman ini. Tandas sosok yang merupakan alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut.     

Acara malam itu dibuka dengan penampilan kelompok musik patrol yang merupakan musik khas kota Jember Jawa Timur, dengan mendendangkan lagu jaranan dan padhang bulan. Acara ini juga diisi dengan orasi kebangsaan oleh H. Idham Samawi, selaku anggota IKA-PMII Yogyakarta sekaligus mantan Bupati Kabupaten Bantul.

Selain orasi kebangsaan, acara ini juga dimeriahkan dengan penampilan tarian dan musik kelompok mahasiswa dari berbagai daerah, seperti tari Muang Sangkal (Sumenep Madura), tari Briuk Tinjal (Lombok NTB), tari dan kesenian Sumatera Selatan, musik Tongtong (Jember Jawa Timur), Gorong-Gorong Institute, Komunitas Rudal Yogyakarta, dan Orkes Gambus Al-Jamiah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pagelaran tersebut berakhir dengan tertib sekitar pukul 00:00 malam. Para hadirin pada malam itu seakan mendapat suntikan semangat baru, agar lebih mencintai, melestarikan dan mempertahankan budaya nusantara sebagai salah satu aset bangsa.

Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’

Sabtu, 20 April 2013

Ini ceritaku tentang peringatan Hari Kartini tahun ini, bagaimana ceritamu?


Lomba Masak yang diikuti El-Mujaddid 2 Tahun Silam

Sabtu (20/04) malam, mendaratlah sebuah es em es dari kota yang telah ku tempati selama 3-4 tahun yang lalu; Malang. Es em es itu dari komandan rayon PMII “Perjuangan” Ibnu Aqil yang menjabat kala itu, yaitu Ismail. Bunyi es em es tersebut mengabarkan bahwa esok hari (Ahad, 21 April 2013) akan diadakan lomba masak tiap angkatan di rayon, dalam rangka memperingati hari Kartini. Karna kondisi yang tak mungkin lagi dapat berpartisipasi dalam lomba masak tahun ini, maka ku respon saja dengan mendo’akan semoga acaranya mendulang kesuksesan, layaknya 2 tahun sebelumnya.

Es em es itu pun berhasil menyeret ingatanku untuk kembali ke masa-masa 2 tahun silam. Begini ini ceritanya…

Lomba masak season I

Tatkala aku masih duduk di bangku kuliah semester VI pada tahun 2011, ketika aku dan teman-teman se-angkatan “El-Mujaddid”, dengan begitu antusias dan kompak mengikuti lomba masak yang diadakan oleh pengurus rayon PMII “Perjuangan Ibnu Aqil” dalam rangka memperingati hari Kartini yang jatuh pada setiap tanggal 21 April di tiap tahunnya.

Ya, acara lomba masak itu pertama kalinya dihelat oleh rayon tercinta kami pada tahun 2011, saat nahkoda kepemimpinan dipegang oleh sahabat se-angkatan kami – sekaligus ketua angkatan kami – yang berperawakan mirip seperti Budi Anduk, yaitu “Salamun”. Dengan menggandeng LSO Gender yang saat itu dipegang oleh Diana Manzila, salah seorang kader di bawah kami yang cukup berbakat dan potensial, maka diadakanlah lomba masak perdana kala itu.

Sederhana saja konsep yang diusung, yakni lomba diikuti oleh masing-masing angkatan yang masih ‘hidup’ dalam keluarga besar rayon PMII “Perjuangan”Ibnu Aqil. Selain dengan tujuan memperingati hari Kartini, sebagai hari yang dianggap hari lahirnya emansipasi wanita Indonesia, kegiatan tersebut juga dimaksudkan agar terciptanya solidaritas dan kekompakan tiap angkatan, demi memupuk kembali semangat juang dalam memperjuangkan nilai-nilai PMII. Kegiatan itu juga dimaksudkan untuk menjalin kembali tali silaturrahmi antar kader pada tiap angkatan, mulai dari yang sering disebut ‘senior’ sampai ‘junior’.

Pun dengan juri masak, tak perlu kami menyewa dan membayar seorang chef terkenal untuk menilai masakan kami. Cukup kami memanfaatkan dua orang senior kami yang dikenal cukup lihai dalam hal masak memasak, yaitu cak Winartono – mantan ketua rayon kami tahun 2005 – juga cak Mas’ud – mantan Lurah Telas (Teater Sebelas) Ibnu Aqil.

Nah, bagaimana dengan peralatan masak yang kami gunakan waktu itu? Padahal kami membutuhkan paling tidak 6 kompor dan peralatan masak lainnya yang otomatis juga berjumlah 6 sesuai dengan jumlah peserta waktu itu. Dan kondisi rayon kami saat itu hanya memiliki satu buah kompor gas yang masih berfungsi. Maka kami pun tak kehilangan akal, dengan meminjam peralatan sana sini, maka kami berhasil mendapatakan empat kompor pinjaman – kalau tidak salah ingat – yang akan kami gunakan pada acara tersebut. Hanya empat? Iya. Lalu bagaimana dengan dua peserta yang lainnya? Nah, akhirnya mau tidak mau 4 kompor itu kami gunakan secara bergantian.

Tahun 2011, lomba masak itu memang diikuti oleh 6 peseta, yakni angkatan Sangkakala (2005), Zulfikar (2006), El-Fikrah (2007), El-Mujaddid (2008), Pandawa (2009), dan adik terbaru kami yang baru lahir, Sapu Jagad (2010).  Rayon kami memang memiliki sedikit keunikan daripada rayon lain, yakni nama-nama yang telah ‘dikawinkan’ kepada anggotanya ketika baru pertama kali masuk PMII melalui pintu Mapaba.

Layaknya sebuah nama yang diberikan oleh orang tua ketika baru saja seorang bayi memecahkan tangisnya di dunia, sebagai gambaran do’a dan harapan untuk anaknya ke depan, maka tak ada bedanya dengan hal itu. Nama angkatan yang disandingkan juga merupakan gambaran do’a dan harapan, agar kami dapat menjadi pelopor dan pejuang yang memiliki sikap seperti makna dan filosofi nama-nama angkatan tersebut. Sebut saja El-Mujaddid yang memiliki makna “sang pembaharu”, maka harapan yang ditancapkan kepada kami adalah agar kami benar-benar dapat menjadi sang pembaharu dalam hal apapun, terlebih dalam hal memperjuangkan nilai-nilai yang terkandung dalam PMII. Pun demikian halnya dengan angkatan-angkatan lain yang tentunya memiliki makna positif. Realitanya, apakah kami – El-Mujaddid – benar-benar telah menjadi sang pembaharu? Maka jawabannya akan diserahkan kepada masing-masing kepala, yang tentunya akan menghasilkan penilaian yang sangat beragam.

Memang terkadang hal itu – adanya nama tiap angkatan – seolah menjadi ‘sekat’ dan terkesan mengkotak-kotakkan dari keluarga besar Ibnu Aqil kami. Bahkan tak jarang hal itu juga kerap memunculkan rasa egoisme dan persaingan tinggi pada masing-masing angkatan untuk menjadi yang terbaik. Namun, hal itu juga tak selamanya bermakna negatif. Toh sejak dalam alam kandungan pun kita telah diajari untuk bersaing agar menjadi yang terbaik, dalam hal positif tentunya. Dan diakui atau tidak, hal tersebut juga memberikan dampak positif bagi keluarga besar Ibnu Aqil kami, yang kerap mendapat label sebagai rayon terbaik, terkompak, dan ter-ter lainnya. Bukan berarti sombong, akan tetapi memang begitulah realita yang ada.

Lomba masak perdana itu menggunakan bahan dasar jamur, yang kami beli dari salah seorang senior kami yang berbisnis jamur kala itu. Dengan menggandeng “Olid”, salah seorang chef putri andalan kami – angkatan El-Mujaddid, bersatu padu dan bersingsingkan lengan bajulah kami meramu masakan yang akan kami buat, yang kalau tidak salah bernama “steak jamur”. Sebuah masakan dengan perpaduan antara jamur, daging ayam, dan bumbu-bumbu rempah lainnya tentu saja. Setelah beberapa menit berlalu, maka selesailah masakan kami.

Setelah semua peserta menyelesaikan seluruh masakannya, maka dimulailah penilaian pada hasil masakan kami, setelah sebelumnya kami juga diminta untuk mempresentasikan proses dan filosofi nama masakan kami secara sederhana.

Setelah penilaian selesai, maka diperolehlah keputusan bahwa angkatan “El-Mujaddid” sebagai juara I. Memang bukanlah kepingan emas yang kami dapatkan, bukan pula perak, tembaga, uang, medali atau piala yang kami dapatkan untuk mengganti hasil jerih payah kami. Hanya beberapa “renteng” jajanan ringan lah yang diberikan kepada juara. Namun sekali lagi ku katakan bahwa hal itu tak menjadi masalah yang besar bagi kami. Kami tetaplah merasa puas dan senang akan hal itu, karna kepuasan bathin lantaran kekompakan persaudaraan kami lah yang dapat mengalahkan kepuasan materi.

Setelah itu, kami pun menggelar makan bersama dari masakan yang telah dihasilkan oleh masing-masing angkatan. Dengan beralaskan kertas minyak yang disusun berjajar dan memanjang, layaknya sebuah barisan tentara, dituangkanlah nasi dan lauk diatasnya. Tak perlu menunggu beberapa jam untuk menjadikan makanan itu ludes, karena perut kami yang telah keroncongan dan berdangdutan ria memainkan alat musiknya, telah membuat tangan kami semua bergerak dengan cepat meraup nasi dan menjejalkannya ke dalam mulut kami. Maka tak ayal, dalam beberapa menit saja makanan itu telah ludes dan telah berpindah ke dalam perut kami masing-masing.

Lomba masak season ke-II

Seakan menjadi sebuah agenda wajib layaknya Mapaba dan PKD, maka pada kepengurusan berikutnya juga diadakan kembali agenda lomba masak tiap angkatan. Akan tetapi kala itu, lomba diadakan tepat setelah satu hari ‘pembaptisan’ para wisudawan-wisudawati bulan Mei tahun 2012.

Tak jauh berbeda dengan konsep yang diusung pada lomba masak perdana dulu, baik peserta maupun juri masih tetap sama, selain bahan dasarnya yang kala itu menggunakan “tempe”. Juga, kalau pada tahun 2011 sebelumnya yang masak adalah para kader putri, maka kali ini yang berhak memasak adalah para kader putra. Oh ada satu lagi yang membedakan, yakni kehadiran adik terbaru kami angkatan “El-Fatih (2011)” yang menjadi peserta baru.

Dengan menggandeng salah satu chef putra angkatan kami – El-Mujaddid – yang memiliki nama panggilan sama persis dengan bahan dasar masakan kala itu, yakni “tempe”, kembali berjuanglah kami menggunakan alat-alat masak, demi mendapatkan kembali gelar “juara I” yang berhasil kami sandang satu tahun yang lalu. Resep yang kami gunakan waktu itu adalah membuat “bothok” tempe, yaitu perpaduan antara tempe yang dimasak dengan parutan kelapa, ikan ‘pindang’ dan bumbu rempah-rempah lainnya.

Beberapa menit telah berlalu, dan tibalah saat penjurian hasil masakan kami. Betapa senangnya kami tatkala mengetahui hasil bahwa masakan kami mendapatkan nilai tertinggi untuk kedua kalinya.

Dan seperti ku katakan sebelumnya, bahwa memang tak ada telalu banyak perbedaan dalam lomba masak yang dihelat waktu itu, dengan lomba masak tahun sebelumnya. Hadiah dan tradisi makan bersama pun masih sama dan tetap seperti sebelumnya. 

Ah, aku merindukan masa-masa itu dan membuatku ingin menyapa kalian – El-Mujaddid – bagaimana lomba masak tahun ini? Apa bahan dasarnya? Siapa saja yang masih bisa ikut lomba dari angkatan kita? Karena banyak dari angkatan kita yang telah ‘terusir’ dari kampus dan kota Malang. Apakah El-Mujaddid tetap menjadi juara bertahan untuk ketiga kalinya? Bagaimana ceritanya? Apakah ada hal-hal yang baru, selain peserta lomba dari angkatan 2012 yang tak ku tahu namanya itu? Hehe…

Mari kita ngopi atau nge-teh sejenak untuk berbagi cerita tentang itu Sahabat, mengusung kembali tema Mapaba kita dulu “secangkir the bersama kita”



Jogja, 21 April 2013 (10:41)

Nieza Ayoe

Jumat, 19 April 2013

Mencoba Menganalisa Bahasa dan Nama-nama Alay



Siang ini ku rasakan kepalaku berdenyut-denyut sedikit lebih keras, mungkin lantaran terlalu lama menghabiskan waktu di depan laptop, ditambah kurang mengistirahatkan kedua mataku ini. Tugas kuliah yang menumpuk dan cukup bikin pusing, ku cuekin sejenak. Demi sedikit memberikan rasa rileks pada mata, juga badanku. 

Iseng-iseng saja, sembari menunggu waktu shalat jum'atan selesai, ku mengobrol ringan dengan kedua temenku di kost. Obrolan kita beragam, salah satunya mengenai "nama-nama dan bahasa-bahasa alay" yang sedang marak digunakan mayoritas anak-anak muda jaman sekarang. Baik di Facebook, Twitter, SMS, dan media sosial lainnya. Tapi di dunia nyata, sepertinya jarang terjadi. Lagian juga ribet amat ngomong bahasa alay.

Kesimpulan obrolan kami saat itu, bahwa nama memang menunjukkan karakter seseorang. Penggunanya rata-rata adalah anak-anak yang masih pada duduk di bangku sekolah. Dan setiap kita, diakui atau tidak, setidaknya pernah juga melewati masa-masa itu; masa-masa menggunakan bahasa alay. Terutama ketika masih duduk di bangku sekolah. Iya kan? Hayo ngaku... :P

Tapi tenang saja, menurut pengamatan dan pengalaman kami bertiga yang kala itu, masa-masa itu akan surut, hilang, terbang, terhempas - dan bahasa lainnya yang menunjukkan bahwa ia sudah tidak ada - dengan sendirinya. Ya, dengan sendirinya itu akan pergi kok, tapi ya mungkin bertahap.

Nah, hasil pantauan terhadapa nama-nama yang digunakan oleh Facebooker adalah sebagai berikut:

1. Nama asli
2. Nama singkatan 
3. Nama samaran
4. Nama – baik asli, singkatan maupun samaran – dengan tambahan kata-kata motivasi
5. Nama – baik asli, singkatan maupun samaran – dengan mencantumkan cita-citanya atau obsesinya
6. Nama – baik asli, singkatan maupun samaran – dengan nama pacar atau orang yang disayanginya
7. Nama – baik asli, singkatan maupun samaran – dengan gambaran situasi hatinya
8. Nama – baik asli, singkatan maupun samaran – dengan jarak spasi yang benar dan sesuai EYD
9. Nama – baik asli, singkatan maupun samara – yang tanpa ada spasi satupun dan otomatis tidak sesuai EYD
10. Nama – baik asli, singkatan maupun samaran – yang susunan hurufnya bergantian antara huruf kapital dan kecil
11. Nama – baik asli, singkatan maupun samaran – dengan mencantumkan nama orang tuanya
12. Perpaduan antara salah satu di atas, seperti nama asli dengan nama samaran, nama samaran dengan kata-kata semangat, nama samara dengan nama pacar atau orang yang disayanginya, dsb
13. Nama yang tak bisa dibaca oleh siapapun kecuali si empunya namanya sendiri

Ada yang mau menambahkan? Silahkan... :D

Jogja, 19 April 2013

Minggu, 07 April 2013

Surau itu…



Dulu, semasa ku masih duduk di bangku MI, surau itu cukup ramai, dan menjadi surau yang paling ramai se-Dukuhan. Ketika malam sehabis isya’, ku bersama teman-teman sebayaku, yang waktu itu masih banyak personel, dengan semangat yang tinggi berbondong-bondong datang ke surau itu. Demi agar bisa membaca kitab Al-Qur’an. Lancar atau tidak bacaan kami, kami tetap rutin mengeja satu per satu, kata per kata, kalimat per kalimat dari rangkaian huruf Al-Qur’an.

Guru ngaji kami yang tak lain adalah bu dhe dan ibuku sendiri, dengan begitu sabar menuntun kami agar bacaan kami menjadi lancar. Jikalau bu dhe ku yang mengajar, maka kami akan sangat senang dan tenang, lantaran kesabaran dan ketelatenan beliau dalam menghadapi kami. Jika kesempatan ibuku yang mengajar kami, maka kami akan merasakan sedikit ketakutan, lantaran karakter ibuku yang memang ku akui sedikit galak dan tegas dalam mengajar, namun tetap telaten. Dan akhirnya sifat itu –galak dan tegas- kini diwariskannya kepadaku.

Masih ku ingat beberapa teman ngajiku kala itu, ada mbak Sri, mbak Utami, Umi, Lia, Misbah, Edi, Yudi, dsb. Kini rata-rata dari mereka sudah berkeluarga dan memiliki anak, walaupun belum semua.

Ketika malam Jum’at, sejak kecil kami sudah dididik untuk mengikuti kegiatan tahlilan dan yasinan di surau itu. Kami menurut saja. Apalagi setiap kali selesai acara, selalu ada sajian-sajian yang diberikan dari warga sekitar. Terkadang berupa ambeng atau tumpeng, yaitu semacam nasi yang telah disajikan sedemikian rupa dalam sebuah nampan besi ataupun kayu. Terkadang juga berupa kue-kue tradisional semisal onde-onde, nagasari, pisang rebus, ataupun berupa snack-snack ringan dalam kemasan.

Setelah tahlilan selesai, tak segan-segan kami segera mengepung sajian itu beramai-ramai, dan kami pun memakannya secara bersama-sama, sembari menunggu adzan isya’ berkumandang.

Itu kegiatan yang kami ikuti setiap malam jum’at. Nah, ketika hari jum’at tiba, pagi sekitar pukul 8 atau 9, aku dan teman-teman berbondong-bondong untuk berkumpul di surau itu lagi, dengan masing-masing kepala membawa satu buah kain atau baju bekas yang akan kami gunakan sebagai kain pel. Ya, hari jum’at kami agendakan untuk mengepel surau kami tercinta. Tak ada instruksi dari siapapun, entah dari guru ngaji kami, imam sholat di surau itu, atau ketua RT, apalagi kepala desa. Itu semua inisiatif kami sendiri, sebagai ungkapan rasa sayang kami terhadap surau itu.

Waktu itu, surau itu belum memiliki kamar mandi dan tempat berwudlu. Kami mengambil air untuk me-ngepel, dengan menimba air dari rumah salah satu teman kami; Misbah, yang tak lain adalah putra dari imam di surau itu. Ya, waktu itu sumur masih sangat banyak di desa kami. Tak ada kesulitan yang kami rasakan, yang ada justru malah senang.

Setelah menimba air dari sumur, kami pun mengepel surau itu. Dengan menggunakan senjata kain bekas di tangan masing-masing, kami pun berbasah-basahan ria dan berlarian kesana kemari, sambil mendorong kain pel kami dari bagian imam-an sampai teras surau. Tak jarang lutut kami pun menjadi lecet-lecet, lantaran tergores keramik surau yang sudah retak-retak. Tapi hal itu tak sedikitpun mengurangi semangat kami. Setelah selesai, maka kami segera pulang ke rumah kami masing-masing untuk bebersih diri.

Berbeda lagi tradisi ketika bulan Ramadhan tiba. Dengan berbaris di bagian paling belakang, kami dengan penuh semangatnya, tak pernah absen mengikuti shalat tarawih dan tadarus di surau itu, dari rakaat pertama, sampai rakaat ke-20. Akan tetapi, itu terjadi ketika hari-hari awal dan akhir saja. Ketika pertengahan, kami sering bermalas-malasan. Jadi, kami mengikuti shalat tarawih dengan melobanginya satu persatu, rakaat pertama ikut, rakaat kedua tidak, ketiga ikut, keempat tidak, dan seterusnya. Sering kami mendapat marah dari orang-orang tua, ketika tak sengaja kami ramai. Tapi kami tak menggubrisnya. Yah, namanya juga anak-anak, wajar saja kan? Yang penting mereka sudah mau ikut saja, itu sudah cukup baik karena akan menjadi bekal dalam prosesnya menapaki kedewasaannya kelak. J

Ketika siang Ramadhan, karena sekolah kami libur -berbeda dengan sekolah jaman sekarang yang liburnya hanya separo dari bulan ramadhan, bahkan ada yang tak ada liburnya sama sekali-, maka kami memanfaatkan waktu siang itu untuk bermain karet atau dakon di surau itu. Ya, permainan tradisional yang nampaknya sekarang sudah tidak ada lagi, alias sudah musnah. Jelas saja, anak-anak sekarang mainannya sudah sangat keren, game dari HP, PS, ataupun i-pad , tab, dan sejenisnya. Berbeda dengan zaman kami kala itu. Maka hiburan kami hanyalah dengan bermain karet, dakon, terkadang juga petak umpet, dsb. Sederhana memang, akan tetapi kami sangat menikmatinya. Dan, ku merasa bersyukur karna masih menangi masa-masa seperti itu. karena dari permainan-permainan semacam itu, secara tak langsung dapat memberikan bekal jiwa sosialis kepada kami. Sebuah pelajaran bagaimana kami dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman-teman sebaya, yang nantinya sedikit banyak akan memperngaruhi dalam proses bersosialisasi dan berkomunikasi dengan masyarakat ketika dewasa. Berbeda dengan permainan macam sekarang, yang menurutku lebih banyak memberikan dampak negatif kepada anak daripada dampak positif.

Permainan itu kami laksanakan sampai adzan dzuhur berkumandang. Ketika sudah masuk waktu shalat dzuhur, maka kami segera pulang ke rumah masing-masing untuk bebersih diri dan mengikuti shalat dzuhur berjama’ah di surau itu, karna setelah dzuhur, kami harus mengikuti kajian kitab dan program khataman Al-Qur’an selama bulan Ramadhan. Kitab yang kami kaji waktu itu adalah kitab safinatun naja.

Ketika sore tiba, kami pun kerap bermain tenis atau bulu tangkis di halaman surau itu. Jika agenda mengaji di TPQ sedang llibur tentunya.

Malam harinya, kami secara berurutan, bergantian dan tertib mengikuti tadarus di surau itu. Dan ketika malam hari raya tiba, maka kami pun akan begadang di surau itu dengan tak henti-hentinya mengumandangkan takbir melalui microphone yang terpancar dari surau itu. Perayaan malam hari raya kami pun menjadi semakin meriah, lantaran tak sedikit dari kami yang mengumandangkan takbir sembari klotek’an, memukul-mukul kendang atau potongan bambu sederhana yang kerap digunakan oleh para kaum bapak dalam ronda malamnya, sebagai alat memanggil para warga ketika terjadi sebuah peristiwa janggal seperti kemalingan.

Itu dulu. Sekarang?

Kondisinya cukup memprihatinkan, karena semua itu sudah tidak ada. Bahkan anak-anak kecil yang mengaji di surau itu pun hanya tinggal satu-dua saja yang masih bertahan. Entah apa yang mereka kerjakan, dan apa yang ditanamkan oleh orang tua zaman sekarang. Dan entah, kondisi seperti itu –surau sepi- hanya terjadi di surau dekat tempat tinggalku, atau terjadi pada hampir seluruh surau masa kini. Entah..

Semoga kaum muda sekarang, masih ada yang tergerak hatinya untuk menghidupkan surau kembali..



Bojonegoro, 08 April 2013

Ah, ‘kita’ masih saja seperti dulu…



“kalo lagi boncengin kamu kaya gini, aku jadi inget yang dulu-dulu yu…”

Itulah percakapan awal yang muncul dari mulut, sekaligus mungkin hati dia. Ku biasa menyapanya dengan ‘kang’, dan dia pun memanggil aku dengan ‘yu’. Panggilan akrab kami sejak beberapa tahun lalu.

Ku hanya tertawa saja tatkala mendengar dia berucap itu, dan ku imbangi dia dengan berkelakar tak jelas tentang kami di masa lalu. Entah apa saja yang ku kelakarkan, aku sudah tak mengingatnya.

Gerimis hujan yang mengguyur kala maghrib itu, tak terasa semakin menyeret kami untuk bernostalgila dengan masa lalu kami. Masa lalu yang cukup menyakitkan sebenarnya, kalo mesti diungkit-ungkit kembali.

Sebelumnya, telah ku relakan saja jaketku untuk ku serahkan kepadanya, agar dia tak kedinginan. Dan ku relakan saja tubuhku diserang angin malam dan dingin hujan kala itu. Demi dia. Tapi kemudian rasa dingin itu hilang seketika, tatkala ku melihat dia mengenakan jaketku, betapa senangnya aku. Ah, ternyata aku masih begitu perhatian dan masih saja selalu mau ‘ngalah’ demi dia.

Jalanan penuh lubang sekaligus becek dengan genangan air tumpahan hujan berwarna kecoklat-coklatan, seakan menjadi saksi percakapan kami kala senja mulai merangkak menuju malam itu. Cairan kecoklat-coklatan dari jalanan itupun meloncat-loncat ke sandal dan celana yang kami kenakan. Membuatnya menjadi kotor. Tak hanya becek sebenarnya jalanan desa yang harus kami lalui, tapi cukup licin dan berlubang juga, sehingga membuatku tergerak untuk menancapkan tangan kiriku ke pundaknya agar tak terjatuh. Hanya tangan kiri saja, karna tangan kananku waktu itu kugunakan untuk menjaga tubuh kami berdua agar tak basah kuyup dengan payung biru berlukiskan bunga-bunga.

Berboncengan berdua di atas kuda ‘smash’ dan berpayungan berdua di tengah gerimis hujan tatkala senja sore beranjak malam. Romantis sekali bukan? ^_^

Ah, sepertinya hal itu –memegang pundaknya agar tak terjatuh- kulakukan, hanya alibiku saja untuk semakin merasakan kedekatan dengannya. Walaupun itu bukan pertama kali ku lakukan tatkala dia memboncengku.

Gara-gara peristiwa itu, rasa aneh antara senang bercampur nyaman berdesir kembali ke relung hatiku, dan mungkin juga dia. Wajar, karna bagaimanapun dia pernah menjadi orang yang ku sayang sekaligus ku benci semasa sekolah dulu. Walaupun terkadang rasa dendam lantaran sakit hati masih suka mencari posisi terdepan, agar segera ku lemparkan kepadanya. Rasa dendam yang sampai saat ini belum juga hilang sepenuhnya, lantaran dari dulu dia sampai sekarang dia tak pernah berhenti mempermainkan hatiku.

Tapi ku tetap menghargai dia sebagai sahabatku. Ku masih baik hati, dan seakan memang tak bisa menyayangi orang lain seperti rasa sayangku ke dia. Ku katakan dengan tegas dan lantang, bahwa aku masih begitu menyayangi dia. Tapi, rasa sayangku ke dia ku arahkan kepada rasa sayang antar sahabat, karna ku fikir rasa sayang antar sahabat itu lebih tulus dan awet daripada dengan pacar, walaupun tidak sepenuhnya benar.

Dan akupun mengabadikannya ke dalam nama mainanku, “nieza”. Ya, nama itu memang sengaja ku susun sebagai perpaduan antara namaku dengan namanya. Dan, tak ada yang tau memang tentang itu, kecuali aku sendiri, dan Tuhan tentunya. Oh aku lupa, ternyata dia juga sudah ku beritahu perihal itu. Belum lama, belum ada setahun yang lalu ku memberitahukannya akan hal itu.

Sampai saat ini dan sampai kapanpun, sepertinya ku akan tetap memakai nama itu. Tak ada maksud lain sebenarnya, hanya aku begitu suka saja pada nama itu. nama yang cukup manis dan bersejarah. Dan biar ku merasa tetap selalu dekat dengan dia.

Sebenarnya aku tak boleh begini terus menerus, karna hal ini hanya akan semakin memperkeruh keadaan batinku saja. Dan hal itu hanya akan membuatku selalu, selalu, dan selalu serta semakin, semakin dan semakin mengingat kenangan kami.

Terkadang juga muncul kekhawatiran, bahwa hal itu akan membuatku nantinya tak bisa membuatku mencintai suamiku sepenuhnya. Walaupun tak ada yang tau memang, siapa suamiku dan istrinya kelak. Bisa saja dia yang akan menjadi suamiku, dan aku menjadi istrinya kelak. Toh saat ini kami masih sama-sama ‘galau’ perihal pasangan kami masing-masing. Tapi ku rasa itu sebuah kemustahilan.

Ah, kita masih saja sama-sama belum dewasa ya kang. Tapi semoga penyakit kita ini nantinya akan sembuh dengan sendirinya. Atau malah semakin parah?

Tapi ku ingin mengatakan sesuatu padamu pagi ini, “ku ingin boncengan lagi bersamamu kang…” *_*



Bojonegoro, 07 April 2013

Kamis, 04 April 2013

Security Berkuping Satu



Dengan mengenakan celana batik dan jaket berwarna putih blesteran biru muda, ku lihat Shofi mondar-mandir di depan kamarnya. Entah apa yang sedang dikerjakannya, sepertinya memang dia sedang kebingungan.

“kamu kenapa? Sakit?”

Tanyaku kepadanya ketika baru saja ku injakkan kaki di kost. Pertanyaan itu terlontar secara spontan saja, lantaran melihat kostumnya yang mengenakan jaket rada tebal di tubuhnya, pemandangan yang biasanya terjadi pada orang yang sedang sakit.

nggak kok, cuma bingung aja

Jawabnya, sembari masuk ke kamar sebelahnya yang bernomor 07, untuk nimbrung dengan anak-anak kost lain yang sedang asyik nonton televisi.

Sejurus kemudian, dia menceritakan bahwa dia jadi geli sendiri, karena seekor kucing telah tidur dengan nyenyak di kasurnya ketika dia sedang keluar.

Ya, sudah sekitar satu bulan ini, ku perhatikan memang ada security baru di kost yang baru ku tempati belum genap setahun ini. Security itu tak pernah lelah, karena setiap waktu –terutama malam, dia selalu berjalan mondar-mandir di lorong kost, entah berapa puluh kali. Dia adalah seekor kucing jantan liar berukuran sedang, berbulu putih, dengan blasteran orange keemasan sedikit pada badannya. Tidak terlalu kotor sebenarnya, tapi memang ada sedikit keganjilan pada tubuhnya yang membuat orang sedikit merinding, yaitu dia hanya memiliki satu kuping. Kucing yang berbau mistis, begitulah kesanku ketika pertama kali melihatnya

Masih ku ingat juga kejadian beberapa hari lalu. Pagi hari, ketika sedang asyik memelototi layar laptop, ku dengar suara kresek-kresek, suara yang timbul dari sebuah plastik hitam yang sedang berusaha dibuka untuk dimasuki sesuatu ke dalamnya, atau sesuatu sedang berusaha dikeluarkan darinya.

Dan benar saja, ketika ku longokkan kepalaku keluar melalui jendela, ku dapati si kuping satu itu sedang begitu bersemangat meng-orak-arik sampah di depan kamarku. Dia berusaha mengais sisa-sisa tulang ikan lele yang menjadi santapanku semalam. Ah, kasian sekali. Ya sudah, lalu ku biarkan saja dia menyelesaikan sarapannya pagi itu dengan nikmat. Walaupun meninggalkan sampah yang bercecer-cecer tak keruan di depan kamarku, sehingga membuat lantai kost yang semula berwarna putih, kemudian menjadi putih dengan bercak-bercak warna coklat yang berasal dari kaisan sampah hasil kreasi si kuping satu itu.

Ku masukkan lagi kepala dan badanku ke kamarku, demi meneruskan pekerjaanku pagi itu. beberapa menit kemudian, ku longokkan kembali kepalaku melalui jendela, dan tak ku dapati si kuping satu itu berada di situ. Berarti dia sudah meneruskan kembali ‘jihad’nya mencari makanan, pikirku. Segera ku ambil sapu dan kain pel, untuk membersihkan sampah uraian si kuping satu itu.

“aku mau beli sprai baru ah, risih aku”

Terdengar suara Shofi memberikan kesimpulan akhir dari proses panjang curhatnya, yang sontak membuyarkan lamunanku terhadap si kucing itu. Kemudian, ku tawarkan diriku untuk menemaninya membeli sprai baru.

Detik itu juga ku lihat shofi mengemasi sprai yang melekat pada kasur busa tipisnya itu. dan pada malam itu juga, dia memacu kuda mesinnya menuju sebuah supermarket terdekat dari tempat kami, untuk mencari satu barang; sprai baru.

Ku temani saja dia, dan setelah beberapa menit berkeliling, akhirnya kami berhasil menemukan sebuah sprai berwarna biru dan bermotif Doraemon, di sebuah rumah sederhana di gang sempit sudut kota.


Beberapa hari berikutnya

“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa” terdengar sebuah lengkingan yang begitu mengagetkan di malam itu.

Aku dan teman-teman yang baru saja merebahkan tangan setelah makan, segera berjalan menuju sumber jeritan tersebut. Ternyata itu hasil jeritan Riris –salah satu penghuni kos, tatkala melihat seekor kucing yang dengan santainya dan tanpa rasa berdosa sama sekali, tidur di atas kasurnya, dengan posisi telentang.

Seketika tawaku dan teman-teman pecah melihat kejadian itu, sehingga membuat situasi kost malam itu menjadi sedikit gaduh. Bercampur aduk antara tawa penghuni kost, juga ratapan sedih Riris lantaran rasa gelinya yang belum hilang itu.

Belum reda juga emosi dan ratapannya, kemudian diambilnya handphone pada saku celananya. Setelah mencari kontak yang ditujunya, segera ia arahkan handphone-nya itu ke telinga. Dan, dimulailah percakapan dengan ‘ojob’nya itu..

“aduh yankmasa kamarku habis dimasukin kucing coba, mana dia tidur di kasurku lagi. Udah gitu kucingnya njijik’i banget e, sukanya ngorek-ngorek sampah, eh barusan malah tidur di kasurku”

Terdengar rengekan panjang dan manjanya itu kepada ojobnya. Mendengar itu, ku arahkan mataku kepada teman-teman di sekelilingku. Alamaaak Dan dengan menggunakan bahasa isyarat, mata kami semua pun saling berpandangan heran dan ingin rasanya tepok jidad mendengar rengekan yang sedikit alay itu.

Terdengar lagi perckapannya,

“iya nggak tautadi aku lupa nutup pintu kamar soale

Tebakanku, mungkin saja ojobnya menanyakan kronologis kenapa kok kucingnya bisa bertengger di kasurnya itu.

Kembali ku tarik kedua mataku untuk ku tabrakkan secara paksa, dengan mata teman-temanku. Dan kami pun kembali berbicara dengan bahasa isyarat mata. Sambil dalam hati berteriak, Gusti. alay sekali ni anak.

Setelah itu, ku lihat dia menutup edisi curhatannya dengan sang ojob via telpon, dengan masih memanyunkan bibirnya lantaran rasa kesalnya yang belum juga hilang, walaupun telah menelpon sang pujaan hati.

“sudah nggak papa, orang cuma kucing doang to. Segera ambil sprai-mu itu, kemudian rendam dan cuci besok kalo emang masih geli. Biar segera bersih”

Dengan sedikit rada jengkel melihat tingkahnya yang bagiku sedikit alay, ku katakan hal itu kepadanya. Mencoba memberi saran sebijak mungkin. Bagaimanapun, naluriku masih bergerak meskipun hanya kepada seekor kucing liar berkuping satu itu. Dan masih cukup terngiang juga di telingaku, salah satu kandungan NDP (Nilai Dasar Pergerakan) salah satu oraganisasi yang telah ku geluti cukup lama, yang mengajarakan kita untuk menjaga hablun minal ‘alam (menjaga tali kasih sayang terhadap alam). Hewan termasuk bagian alam bukan?

Toh kejadian itu juga bukan kesalahan hewan seutuhnya. Manusia juga turut serta menyumbangkan kesalahannya dalam hal ini. Kembali ku katakan kepadanya:

“makanya, kalo keluar tu pintu mbok yo ditutup, kalo emang gak mau ditiduri kucing lagi”

“tadi cepet-cepetan e mbak Ira kilahnya.

“ya sudah, berarti memang tuh kucing niat menjelajahi semua kamar. Kamarku udah, shofi udah, Siti juga udah. Nah, sekarang giliran kamu

Sembari tertawa ku katakan hal itu kepadanya.

“lagian njijik’i banget e mbak kucingnya itu, udah hobinya mengorek sampah, trus suka masukin kamarnya orang sembarangan lagi”

“ya ampun Ris Kok segitunya sih kamu marahnya. Mana dia paham juga masalah etika dan moral, namanya aja kucing. Jalan satu-satunya buat dia mendapatkan makanan kan dengan membongkar sampah to? Ya kalo emang gak pengen dia membongkar seluruh isi sampah demi untuk mengisi perutnya, mari kita semua patungan, dan berikan dia makanan rutin setiap hari. Trus juga kita buatin rumah dan sediain kasur buat dia, biar dia gak masuk kamar orang sembarangan”

idih, ogah banget lah mbak. Orang buat makan sehari-hari aja ngepas. Gimana mau ngingoni kucing”

“nah lho, ya sudah kalo gitu jangan salahkan kucing itu. kalo emang kita gak bisa berikan dia makanan rutin, minimal sisain lah sedikit buat dia ketika kita makan, dan kita juga kudu bisa mengatur emosi kita, jangan asal marah-marah doank, tapi tanpa memperbaiki keadaan. Bagaimanapun dia juga berhak hidup lho Ris, dan salah satu jalannya buat bertahan hidup ya makan. Sekarang aku Tanya, dia mau dapat makan dari mana coba kalo gak ngorek-ngorek isi sampah? Gak ada kan?”

“iya juga sih mbak

Ku perhatikan dia terlihat sedikit tertunduk dan sedikit lebih tenang sambil mungkin merenungi akan kesalahannya dari kejadian malam itu.


***


Jogja, 04 April 2013