Dengan
mengenakan celana batik dan jaket berwarna putih blesteran biru muda, ku lihat
Shofi mondar-mandir di depan kamarnya. Entah apa yang sedang dikerjakannya,
sepertinya memang dia sedang kebingungan.
“kamu
kenapa? Sakit?”
Tanyaku
kepadanya ketika baru saja ku injakkan kaki di kost. Pertanyaan itu terlontar
secara spontan saja, lantaran melihat kostumnya yang mengenakan jaket rada
tebal di tubuhnya, pemandangan yang biasanya terjadi pada orang yang sedang
sakit.
“nggak
kok, cuma bingung aja”
Jawabnya,
sembari masuk ke kamar sebelahnya yang bernomor 07, untuk nimbrung dengan
anak-anak kost lain yang sedang asyik nonton televisi.
Sejurus
kemudian, dia menceritakan bahwa dia jadi geli sendiri, karena seekor kucing
telah tidur dengan nyenyak di kasurnya ketika dia sedang keluar.
Ya,
sudah sekitar satu bulan ini, ku perhatikan memang ada security baru di kost
yang baru ku tempati belum genap setahun ini. Security itu tak pernah lelah,
karena setiap waktu –terutama malam, dia selalu berjalan mondar-mandir di
lorong kost, entah berapa puluh kali. Dia adalah seekor kucing jantan liar
berukuran sedang, berbulu putih, dengan blasteran orange keemasan sedikit pada
badannya. Tidak terlalu kotor sebenarnya, tapi memang ada sedikit keganjilan
pada tubuhnya yang membuat orang sedikit merinding, yaitu dia hanya memiliki
satu kuping. Kucing yang berbau mistis, begitulah kesanku ketika pertama kali
melihatnya
Masih
ku ingat juga kejadian beberapa hari lalu. Pagi hari, ketika sedang asyik
memelototi layar laptop, ku dengar suara kresek-kresek, suara yang timbul
dari sebuah plastik hitam yang sedang berusaha dibuka untuk dimasuki sesuatu ke
dalamnya, atau sesuatu sedang berusaha dikeluarkan darinya.
Dan
benar saja, ketika ku longokkan kepalaku keluar melalui jendela, ku dapati si
kuping satu itu sedang begitu bersemangat meng-orak-arik sampah di depan
kamarku. Dia berusaha mengais sisa-sisa tulang ikan lele yang menjadi
santapanku semalam. Ah, kasian sekali. Ya sudah, lalu ku biarkan saja dia
menyelesaikan sarapannya pagi itu dengan nikmat. Walaupun meninggalkan sampah
yang bercecer-cecer tak keruan di depan kamarku, sehingga membuat lantai kost
yang semula berwarna putih, kemudian menjadi putih dengan bercak-bercak warna
coklat yang berasal dari kaisan sampah hasil kreasi si kuping satu itu.
Ku
masukkan lagi kepala dan badanku ke kamarku, demi meneruskan pekerjaanku pagi
itu. beberapa menit kemudian, ku longokkan kembali kepalaku melalui jendela,
dan tak ku dapati si kuping satu itu berada di situ. Berarti dia sudah
meneruskan kembali ‘jihad’nya mencari makanan, pikirku. Segera ku ambil sapu
dan kain pel, untuk membersihkan sampah uraian si kuping satu itu.
“aku
mau beli sprai baru ah, risih aku”
Terdengar
suara Shofi memberikan kesimpulan akhir dari proses panjang curhatnya, yang
sontak membuyarkan lamunanku terhadap si kucing itu. Kemudian, ku tawarkan
diriku untuk menemaninya membeli sprai baru.
Detik
itu juga ku lihat shofi mengemasi sprai yang melekat pada kasur busa tipisnya
itu. dan pada malam itu juga, dia memacu kuda mesinnya menuju sebuah supermarket
terdekat dari tempat kami, untuk mencari satu barang; sprai baru.
Ku
temani saja dia, dan setelah beberapa menit berkeliling, akhirnya kami berhasil
menemukan sebuah sprai berwarna biru dan bermotif Doraemon, di sebuah rumah
sederhana di gang sempit sudut kota.
Beberapa
hari berikutnya…
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa”
terdengar sebuah lengkingan yang begitu mengagetkan di malam itu.
Aku
dan teman-teman yang baru saja merebahkan tangan setelah makan, segera berjalan
menuju sumber jeritan tersebut. Ternyata itu hasil jeritan Riris –salah satu
penghuni kos, tatkala melihat seekor kucing yang dengan santainya dan tanpa
rasa berdosa sama sekali, tidur di atas kasurnya, dengan posisi telentang.
Seketika
tawaku dan teman-teman pecah melihat kejadian itu, sehingga membuat situasi
kost malam itu menjadi sedikit gaduh. Bercampur aduk antara tawa penghuni kost,
juga ratapan sedih Riris lantaran rasa gelinya yang belum hilang itu.
Belum
reda juga emosi dan ratapannya, kemudian diambilnya handphone pada saku
celananya. Setelah mencari kontak yang ditujunya, segera ia arahkan
handphone-nya itu ke telinga. Dan, dimulailah percakapan dengan ‘ojob’nya
itu..
“aduh
yank…masa’ kamarku habis dimasukin
kucing coba, mana dia tidur di kasurku lagi. Udah gitu kucingnya njijik’i
banget e, sukanya ngorek-ngorek sampah, eh barusan malah tidur di
kasurku”
Terdengar
rengekan panjang dan manjanya itu kepada ojobnya. Mendengar itu,
ku arahkan mataku kepada teman-teman di sekelilingku. Alamaaak… Dan dengan menggunakan
bahasa isyarat, mata kami semua pun saling berpandangan heran dan ingin rasanya
tepok jidad mendengar rengekan yang sedikit alay itu.
Terdengar
lagi perckapannya,
“iya
nggak tau…tadi aku lupa nutup pintu kamar soale…”
Tebakanku,
mungkin saja ojobnya menanyakan kronologis kenapa kok kucingnya bisa
bertengger di kasurnya itu.
Kembali
ku tarik kedua mataku untuk ku tabrakkan secara paksa, dengan mata
teman-temanku. Dan kami pun kembali berbicara dengan bahasa isyarat mata.
Sambil dalam hati berteriak, Gusti…. alay sekali ni
anak.
Setelah
itu, ku lihat dia menutup edisi curhatannya dengan sang ojob via telpon,
dengan masih memanyunkan bibirnya lantaran rasa kesalnya yang belum juga
hilang, walaupun telah menelpon sang pujaan hati.
“sudah
nggak papa, orang cuma kucing doang to. Segera ambil
sprai-mu itu, kemudian rendam dan cuci besok kalo emang masih geli. Biar segera
bersih”
Dengan
sedikit rada jengkel melihat tingkahnya yang bagiku sedikit alay, ku
katakan hal itu kepadanya. Mencoba memberi saran sebijak mungkin. Bagaimanapun,
naluriku masih bergerak meskipun hanya kepada seekor kucing liar berkuping satu
itu. Dan masih cukup terngiang juga di telingaku, salah satu kandungan NDP
(Nilai Dasar Pergerakan) salah satu oraganisasi yang telah ku geluti cukup
lama, yang mengajarakan kita untuk menjaga hablun minal ‘alam (menjaga
tali kasih sayang terhadap alam). Hewan termasuk bagian alam bukan?
Toh
kejadian itu juga bukan kesalahan hewan seutuhnya. Manusia juga turut serta
menyumbangkan kesalahannya dalam hal ini. Kembali ku katakan kepadanya:
“makanya,
kalo keluar tu pintu mbok yo ditutup, kalo emang gak mau ditiduri kucing
lagi”
“tadi
cepet-cepetan e mbak Ira…” kilahnya.
“ya
sudah, berarti memang tuh kucing niat menjelajahi semua kamar. Kamarku
udah, shofi udah, Siti juga udah. Nah, sekarang giliran kamu…”
Sembari
tertawa ku katakan hal itu kepadanya.
“lagian
njijik’i banget e mbak kucingnya itu, udah hobinya mengorek
sampah, trus suka masukin kamarnya orang sembarangan lagi”
“ya
ampun Ris… Kok segitunya sih kamu marahnya. Mana dia paham
juga masalah etika dan moral, namanya aja kucing. Jalan satu-satunya buat dia
mendapatkan makanan kan dengan membongkar sampah to? Ya kalo
emang gak pengen dia membongkar seluruh isi sampah demi untuk mengisi perutnya,
mari kita semua patungan, dan berikan dia makanan rutin setiap hari. Trus juga
kita buatin rumah dan sediain kasur buat dia, biar dia gak masuk kamar orang
sembarangan”
“idih,
ogah banget lah mbak. Orang buat makan sehari-hari aja ngepas.
Gimana mau ngingoni kucing”
“nah
lho, ya sudah kalo gitu jangan salahkan kucing itu. kalo emang kita gak bisa
berikan dia makanan rutin, minimal sisain lah sedikit buat dia ketika kita
makan, dan kita juga kudu bisa mengatur emosi kita, jangan asal marah-marah doank,
tapi tanpa memperbaiki keadaan. Bagaimanapun dia juga berhak hidup lho
Ris, dan salah satu jalannya buat bertahan hidup ya makan. Sekarang aku Tanya,
dia mau dapat makan dari mana coba kalo gak ngorek-ngorek isi sampah?
Gak ada kan?”
“iya
juga sih mbak…”
Ku
perhatikan dia terlihat sedikit tertunduk dan sedikit lebih tenang sambil
mungkin merenungi akan kesalahannya dari kejadian malam itu.
***
Jogja,
04 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar