Rabu, 03 April 2013

Cak Nun: Agama Masyarakat Itu Sebenarnya Harus Telo, Bukan Gethuk atau Kripik



Rintik-rintik hujan yang membasahi bumi bekas kerajaan Mataram (baca: Yogyakarta) ini tak sedikitpun menghalangi semangat para Cak Nunian (pengagum Cak Nun dan Kiai Kanjeng), untuk sekedar memacu kuda mesinnya menuju Masjid Jami’ At-Taqwa Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta, demi mendapatkan kehangatan bathiniyyah lantaran petuah-petuah Cak Nun dan juga tembang-tembang yang disenandungkan oleh Kiai Kanjeng yang memang memiliki sengatan listrik yang bisa membuat jiwa orang kesetrum (kena sengatan listrik).
Acara ini dihelat oleh Pengurus Ta’mir masjid Jami’ At-Taqwa, dengan mengangkat tema “Ashabul Kahfi Ada di Masjid Jami’ At-Taqwa: Istiqamah di Sahara Kehidupan Modern”. Jum’at, 29 Maret 2013, sekitar pukul 20.00 WIB, acara pun dibuka oleh MC yang membawakan acara secara semi formal. Setelah sambutan oleh ketua ta’mir masjid Jami’ At-Taqwa; Prof. Dr. Edi, juga oleh Bupati Sleman, acara dimeriahkan oleh penampilan Kiai Kanjeng dengan membawakan tembang perdana “Hasbunallah wa ni’mal wakil”. Para penonton yang terdiri dari segala macam usia -mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek, juga dari berbagai kalangan –akademisi, mahasiswa, petani, pejabat, dsb- yang memadati halaman luas masjid Jami’ At-Taqwa ini pun terlihat begitu menikmati dan menghayati alunan musik yang dibawakan Kia Kanjeng.
Setelah beberapa saat, tibalah sang Maestro yang telah ditunggu-tunggu, “Cak Nun”. Dengan mengenakan pakaian serba putih dari ujung atas sampai ujung bawah, Cak Nun mulai menyampaikan pesan-pesannya. Ia memulai dengan menyampaikan sebuah ilusrasi yang cukup menarik, tentang agama Islam dan golongan-golongan yang ada di dalamnya.
Cak Nun mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat yang terkadang begitu fanatik terhadap golongan/aliran yang dianutnya, seperti NU, Muhammadiyah, Syi’ah, dsb. Sehingga dari kefanatikan itu memunculkan tindak kekerasan yang kerap terjadi sesama muslim. Kemudian Cak Nun pun mengilustrasikan agama Islam laksana Telo (sejenis umbi-umbian) yang bisa menghasilkan berbagai aneka menu, seperti Gethuk, Kripik, dsb. Nah, Telo diibaratkan sebagai agama Islam murni, dan Gethuk, Kripik diibaratkan aliran-aliran yang muncul dalam Islam. Nah, kebanyakan orang memang menganggap bahwa NU, Muhammadiyah, Syi’ah, dsb itu sebagai agama mereka, padahal sebenarnya semua sama-sama Islam. Itulah pentingnya menjunjung tinggi pluralisme.
Maka Cak Nun pun melontarkan pertanyaan kepada para pengunjung yang berdekatan dengan panggung, dengan berbahasa Jawa, “la seng agama iku lak seng Telone to bu’ nggeh, ora kok Gethuk lan Kripik iku? La wong saiki iki, seng sering nganggep agamane iku Gethuk lan Kripik iku, padahal asline kan Telo” (La yang agama itu kan yang Telo-nya kan bu’ ya, bukan kok Gethuk dan Kripik? La orang sekarang itu sering menganggap agamanya itu Gethuk dan Kripik itu, padahal aslinya kan Telo). Sontak para hadirin pun tertawa mendengar ilustrasi Cak Nun yang terkesan aneh, lucu namun sarat akan makna tersebut.
Tembang-tembang pun mengalir dari tangan-tangan para anggota Kiai Kanjeng, seperti syi’ir tanpa wathon, gelandangan, dsb, mengiringi jalannya pengajian yang selesai sekitar pukul 00:00 malam tersebut.
  
20 pesan selanjutnya

Selain menyampaikan tentang Telo, dkk tersebut, dengan kemasan bahasa Indonesia dan Jawa, dan dengan ciri khasnya yang terkesan slengek’an dan seperti ocehan ngawur namun sarat makna itu, Cak Nun juga menyampaikan beberapa pesan yang penting kepada para hadirin. Paling tidak ada 20 pesan yang berhasil ku rangkum. 

Pertama, Kita harus bisa memilih dan memilah, mana perkara yang harus kita masukkan dalam otak, hati, dan tangan itu. Jangan sampai salah tempat.

Kedua, Orang yang diinjak-injak dan kere (miskin) itu terkadang lebih bermanfaat.

Ketiga, Wong iku oleh duwur –pangkate, tapi gak oleh nduwuri wong (orang itu boleh saja berpangkat tinggi, tapi nggak boleh menganggap remeh orang). Sebuah kritik terhadap para pejabat-pejabat yang terkadang sering meremehkan dan menyepelekan orang yang ada di bawahnya.

Keempat, Manusia itu bukan makhluk permanen, artinya dia bisa baik dan kadang juga bisa buruk. Jadi, jangan khawatir jika kita dicap buruk oleh orang.

Kelima, Tawakkal bisa dimaknai secara sederhana seperti ini; “mengurusi hal yang bisa diurus, dan kalau ada hal yang nggak bisa diurus, pasrahkanlah kepada Allah”. Artinya, kita cukup mengurus perkara yang sudah konkrit dan ada di depan mata saja. Perihal perkara yang masih belum jelas dan masih abstrak, cukup pasrahkan saja urusannya pada Allah. Yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik bagi hambaNya.

Keenam, Setiap orang itu punya fadhilah (keutamaan). Jadi jangan minder dengan diri sendiri.

Ketujuh, Orang itu selalu melihat yang tinggi, dan menganggap bahwa yang tinggi dan berada di atas, itulah yang terbaik dan mulia. Padahal bukan seperti itu, karena semua sudah ada porsi dan jatahnya masing-masing. Contohnya saja, burung bisa terbang tinggi ke atas itu ya karna memang sudah kodratnya dia bisa begitu. Karna kan dia punya sayap. Makanya keliatan pantas dan baik. La sekarang, coba bayangin bagaimana kalau ayam, harimau, yang emang kodratnya berjalan di bawah –daratan, tapi disuruh terbang? Lantaran asumsi yang beredar bahwa yang terbang tinggi dan di atas itu baik. Apa nggak tambah menyeramkan dan menghawatirkan tuh? Itu baru ayam sama harimau. Coba kalau badak sama gajah yang terbang? :D

Kedelapan, Wajah itu perwakilan dari seluruh diri kita. “sing ngentut silite, tapi sing diwudhu-ni wajahe” (yang kentut dubur-nya, tapi yang diwudhu-in wajahnya). Kenapa? Ya karna orang itu menilai dari wajah kita kan, dan nggak mungkin dari dubur atau bagian anggota tubuh lain –selain wajah? :D

Kesembilan, Cahaya itu hanya terlihat di dalam kegelapan, bukan di tempat yang terang benderang. Artinya, ketika kita tidak masuk ke catatan ‘buku hitam’ yang penuh kegelapan dulu, mustahil kita akan tau dan mendapatkan penerangan (cahaya).

Kesepuluh, Pencipta lagu “syi’ir tanpa wathon” yang selama ini diklaim diciptakan oleh Gus Dur pun diluruskan oleh Cak Nun. Dikatakan bahwa sebenarnya yang menciptakan lagu itu adalah Kiai Sahlan dari Krian, Sidoarjo pada tahun 1950-an. Dan syi’ir itu muncul lantaran untuk menyaingi lagu ludruk yang sedang tenar waktu itu. hal ini disampaikan, tepat sebelum Kiai Kanjeng beraksi dengan membawakan tembang syi’ir tanpa wathon.

Kesebelas, “Jawa ayo digawa, Arab digarap, Barat diruwat” (Budaya Jawa mari kita bawa, Arab dikerjakan, Barat dipelihara). Sebuah pesan yang singkat, padat, jelas dan sarat makna tentang pentingnya menjaga budaya daerah dan Nusantara, tanpa menolak mentah-mentah juga terhadap budaya asing yang masuk. المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح”.

Keduabelas, perihal tema acara itu –Ashabul Kahfi, Cak Nun menyampaikan agar jangan sampai ada gua ashabul kahfi lagi di zaman sekarang. Pemuda ashabul kahfi yang ditidurkan oleh Allah, itu merupakan gambaran para pemuda yang tetap kekeh menjaga imannya, lantaran khawatir akan terseret situasi modernitas yang ada di dunia. Makanya mereka memilih untuk menyendiri dalam gua yang kemudian ditidurkan oleh Allah selama 300 tahun, ditambah 6 tahun.

Ketigabelas, Sunan Kalijaga itu peranannya paling banyak adalah dalam hal peralihan perpolitikan (dari Majapahit-Demak-Pajang-Mataram). Hal ini disampaikan Cak Nun, ketika beliau menceritakan bahwa orang-orang terkadang ada yang nyeletuk, dengan mengatakan bahwa ia adalah jelma’an dari Sunan Kalijaga. J

Keempatbelas, Ibadah itu yang mahdhah (wajib, murni) hanya 3,5%, sisanya 96,5% itu adalah mu’amalah.

Kelimabelas, Makin dekat seseorang dengan seseorang yang lain, maka semakin tidak ada etika di antara keduanya.

Keenambelas, Pelurusan antara Al-Qur’an dan Mushaf. Al-Qur’an yang asli dan terjaga itu berada di lauh mahfudz. Sedangkan yang ada di hadapan kita sekarang itu adalah mushaf.

Ketujuhbelas, Bid’ah itu hanya ada dalam ibadah mahdhah saja, bukan pada ibadah mu’amalah. Hal ini disampaikan, ketika ada salah satu ibu-ibu yang menanyakan tentang bid’ah kepada Cak Nun.

Kedelapanbelas, Kebohongan itu terkadang penting, pada saat-saat tertentu saja.

Kesembilanbelas, Pilihan hidup itu ada tiga: ijtihad, ittiba’, atau taqlid. Kita pilih sesuai kapasitas diri kita.

Keduapuluh, Jangan sampai ada sesuatu apapun yang bisa menghalangi kedekatanmu dengan Allah.


Dokumentasi Acara


 Kiai Kanjeng ketika memulai penampilannya -sebelum Cak Nun masuk panggung


Cak Nun ketika baru masuk panngung, dan menyampaikan pesan-pesannya


Cak Nun ketika menyampaikan pesan-pesannya kepada para hadirin


Cak Nun dan Kiai Kanjeng ketika menyanyikan tembang 'syi'ir tanpa wathon'


Nah, itu tadi kurang lebih oleh-oleh dari Pengajian Akbar Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Minomartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Niatnya sih, buat berbagi pengalaman saja. Silahkan disimpulkan sendiri, dan semoga bermanfaat… J


Jogja, 30 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar