“kalo
lagi boncengin kamu kaya gini, aku jadi inget yang dulu-dulu yu…”
Itulah
percakapan awal yang muncul dari mulut, sekaligus mungkin hati dia. Ku biasa
menyapanya dengan ‘kang’, dan dia pun memanggil aku dengan ‘yu’.
Panggilan akrab kami sejak beberapa tahun lalu.
Ku
hanya tertawa saja tatkala mendengar dia berucap itu, dan ku imbangi dia dengan
berkelakar tak jelas tentang kami di masa lalu. Entah apa saja yang ku
kelakarkan, aku sudah tak mengingatnya.
Gerimis
hujan yang mengguyur kala maghrib itu, tak terasa semakin menyeret kami untuk
bernostalgila dengan masa lalu kami. Masa lalu yang cukup menyakitkan
sebenarnya, kalo mesti diungkit-ungkit kembali.
Sebelumnya,
telah ku relakan saja jaketku untuk ku serahkan kepadanya, agar dia tak
kedinginan. Dan ku relakan saja tubuhku diserang angin malam dan dingin hujan
kala itu. Demi dia. Tapi kemudian rasa dingin itu hilang seketika, tatkala ku
melihat dia mengenakan jaketku, betapa senangnya aku. Ah, ternyata aku
masih begitu perhatian dan masih saja selalu mau ‘ngalah’ demi dia.
Jalanan
penuh lubang sekaligus becek dengan genangan air tumpahan hujan berwarna
kecoklat-coklatan, seakan menjadi saksi percakapan kami kala senja mulai
merangkak menuju malam itu. Cairan kecoklat-coklatan dari jalanan itupun
meloncat-loncat ke sandal dan celana yang kami kenakan. Membuatnya menjadi
kotor. Tak hanya becek sebenarnya jalanan desa yang harus kami lalui, tapi
cukup licin dan berlubang juga, sehingga membuatku tergerak untuk menancapkan
tangan kiriku ke pundaknya agar tak terjatuh. Hanya tangan kiri saja, karna
tangan kananku waktu itu kugunakan untuk menjaga tubuh kami berdua agar tak
basah kuyup dengan payung biru berlukiskan bunga-bunga.
Berboncengan
berdua di atas kuda ‘smash’ dan berpayungan berdua di tengah gerimis hujan
tatkala senja sore beranjak malam. Romantis sekali bukan? ^_^
Ah,
sepertinya hal itu –memegang pundaknya agar tak terjatuh- kulakukan, hanya
alibiku saja untuk semakin merasakan kedekatan dengannya. Walaupun itu bukan
pertama kali ku lakukan tatkala dia memboncengku.
Gara-gara
peristiwa itu, rasa aneh antara senang bercampur nyaman berdesir kembali ke
relung hatiku, dan mungkin juga dia. Wajar, karna bagaimanapun dia pernah
menjadi orang yang ku sayang sekaligus ku benci semasa sekolah dulu. Walaupun terkadang
rasa dendam lantaran sakit hati masih suka mencari posisi terdepan, agar segera
ku lemparkan kepadanya. Rasa dendam yang sampai saat ini belum juga hilang
sepenuhnya, lantaran dari dulu dia sampai sekarang dia tak pernah berhenti
mempermainkan hatiku.
Tapi
ku tetap menghargai dia sebagai sahabatku. Ku masih baik hati, dan seakan
memang tak bisa menyayangi orang lain seperti rasa sayangku ke dia. Ku katakan
dengan tegas dan lantang, bahwa aku masih begitu menyayangi dia. Tapi, rasa
sayangku ke dia ku arahkan kepada rasa sayang antar sahabat, karna ku fikir
rasa sayang antar sahabat itu lebih tulus dan awet daripada dengan pacar,
walaupun tidak sepenuhnya benar.
Dan
akupun mengabadikannya ke dalam nama mainanku, “nieza”. Ya, nama itu memang
sengaja ku susun sebagai perpaduan antara namaku dengan namanya. Dan, tak ada
yang tau memang tentang itu, kecuali aku sendiri, dan Tuhan tentunya. Oh aku
lupa, ternyata dia juga sudah ku beritahu perihal itu. Belum lama, belum ada
setahun yang lalu ku memberitahukannya akan hal itu.
Sampai
saat ini dan sampai kapanpun, sepertinya ku akan tetap memakai nama itu. Tak ada
maksud lain sebenarnya, hanya aku begitu suka saja pada nama itu. nama yang
cukup manis dan bersejarah. Dan biar ku merasa tetap selalu dekat dengan dia.
Sebenarnya
aku tak boleh begini terus menerus, karna hal ini hanya akan semakin
memperkeruh keadaan batinku saja. Dan hal itu hanya akan membuatku selalu,
selalu, dan selalu serta semakin, semakin dan semakin mengingat kenangan kami.
Terkadang
juga muncul kekhawatiran, bahwa hal itu akan membuatku nantinya tak bisa
membuatku mencintai suamiku sepenuhnya. Walaupun tak ada yang tau memang, siapa
suamiku dan istrinya kelak. Bisa saja dia yang akan menjadi suamiku, dan aku
menjadi istrinya kelak. Toh saat ini kami masih sama-sama ‘galau’ perihal
pasangan kami masing-masing. Tapi ku rasa itu sebuah kemustahilan.
Ah,
kita masih saja sama-sama belum dewasa ya kang. Tapi semoga penyakit
kita ini nantinya akan sembuh dengan sendirinya. Atau malah semakin parah?
Tapi
ku ingin mengatakan sesuatu padamu pagi ini, “ku ingin boncengan lagi bersamamu
kang…” *_*
Bojonegoro,
07 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar