Minggu, 07 April 2013

Ah, ‘kita’ masih saja seperti dulu…



“kalo lagi boncengin kamu kaya gini, aku jadi inget yang dulu-dulu yu…”

Itulah percakapan awal yang muncul dari mulut, sekaligus mungkin hati dia. Ku biasa menyapanya dengan ‘kang’, dan dia pun memanggil aku dengan ‘yu’. Panggilan akrab kami sejak beberapa tahun lalu.

Ku hanya tertawa saja tatkala mendengar dia berucap itu, dan ku imbangi dia dengan berkelakar tak jelas tentang kami di masa lalu. Entah apa saja yang ku kelakarkan, aku sudah tak mengingatnya.

Gerimis hujan yang mengguyur kala maghrib itu, tak terasa semakin menyeret kami untuk bernostalgila dengan masa lalu kami. Masa lalu yang cukup menyakitkan sebenarnya, kalo mesti diungkit-ungkit kembali.

Sebelumnya, telah ku relakan saja jaketku untuk ku serahkan kepadanya, agar dia tak kedinginan. Dan ku relakan saja tubuhku diserang angin malam dan dingin hujan kala itu. Demi dia. Tapi kemudian rasa dingin itu hilang seketika, tatkala ku melihat dia mengenakan jaketku, betapa senangnya aku. Ah, ternyata aku masih begitu perhatian dan masih saja selalu mau ‘ngalah’ demi dia.

Jalanan penuh lubang sekaligus becek dengan genangan air tumpahan hujan berwarna kecoklat-coklatan, seakan menjadi saksi percakapan kami kala senja mulai merangkak menuju malam itu. Cairan kecoklat-coklatan dari jalanan itupun meloncat-loncat ke sandal dan celana yang kami kenakan. Membuatnya menjadi kotor. Tak hanya becek sebenarnya jalanan desa yang harus kami lalui, tapi cukup licin dan berlubang juga, sehingga membuatku tergerak untuk menancapkan tangan kiriku ke pundaknya agar tak terjatuh. Hanya tangan kiri saja, karna tangan kananku waktu itu kugunakan untuk menjaga tubuh kami berdua agar tak basah kuyup dengan payung biru berlukiskan bunga-bunga.

Berboncengan berdua di atas kuda ‘smash’ dan berpayungan berdua di tengah gerimis hujan tatkala senja sore beranjak malam. Romantis sekali bukan? ^_^

Ah, sepertinya hal itu –memegang pundaknya agar tak terjatuh- kulakukan, hanya alibiku saja untuk semakin merasakan kedekatan dengannya. Walaupun itu bukan pertama kali ku lakukan tatkala dia memboncengku.

Gara-gara peristiwa itu, rasa aneh antara senang bercampur nyaman berdesir kembali ke relung hatiku, dan mungkin juga dia. Wajar, karna bagaimanapun dia pernah menjadi orang yang ku sayang sekaligus ku benci semasa sekolah dulu. Walaupun terkadang rasa dendam lantaran sakit hati masih suka mencari posisi terdepan, agar segera ku lemparkan kepadanya. Rasa dendam yang sampai saat ini belum juga hilang sepenuhnya, lantaran dari dulu dia sampai sekarang dia tak pernah berhenti mempermainkan hatiku.

Tapi ku tetap menghargai dia sebagai sahabatku. Ku masih baik hati, dan seakan memang tak bisa menyayangi orang lain seperti rasa sayangku ke dia. Ku katakan dengan tegas dan lantang, bahwa aku masih begitu menyayangi dia. Tapi, rasa sayangku ke dia ku arahkan kepada rasa sayang antar sahabat, karna ku fikir rasa sayang antar sahabat itu lebih tulus dan awet daripada dengan pacar, walaupun tidak sepenuhnya benar.

Dan akupun mengabadikannya ke dalam nama mainanku, “nieza”. Ya, nama itu memang sengaja ku susun sebagai perpaduan antara namaku dengan namanya. Dan, tak ada yang tau memang tentang itu, kecuali aku sendiri, dan Tuhan tentunya. Oh aku lupa, ternyata dia juga sudah ku beritahu perihal itu. Belum lama, belum ada setahun yang lalu ku memberitahukannya akan hal itu.

Sampai saat ini dan sampai kapanpun, sepertinya ku akan tetap memakai nama itu. Tak ada maksud lain sebenarnya, hanya aku begitu suka saja pada nama itu. nama yang cukup manis dan bersejarah. Dan biar ku merasa tetap selalu dekat dengan dia.

Sebenarnya aku tak boleh begini terus menerus, karna hal ini hanya akan semakin memperkeruh keadaan batinku saja. Dan hal itu hanya akan membuatku selalu, selalu, dan selalu serta semakin, semakin dan semakin mengingat kenangan kami.

Terkadang juga muncul kekhawatiran, bahwa hal itu akan membuatku nantinya tak bisa membuatku mencintai suamiku sepenuhnya. Walaupun tak ada yang tau memang, siapa suamiku dan istrinya kelak. Bisa saja dia yang akan menjadi suamiku, dan aku menjadi istrinya kelak. Toh saat ini kami masih sama-sama ‘galau’ perihal pasangan kami masing-masing. Tapi ku rasa itu sebuah kemustahilan.

Ah, kita masih saja sama-sama belum dewasa ya kang. Tapi semoga penyakit kita ini nantinya akan sembuh dengan sendirinya. Atau malah semakin parah?

Tapi ku ingin mengatakan sesuatu padamu pagi ini, “ku ingin boncengan lagi bersamamu kang…” *_*



Bojonegoro, 07 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar