Rabu, 20 Maret 2013

Depok Vs Merapi



Embun pagi masih menebarkan kesejukannya, bebarengan dengan matahari yang mulai menyembul malu-malu dari ufuk bagian timur. Memendarkan cahaya dan energi terdahsyatnya bagi bumi dan seisinya, agar dinamika kehidupan tetap berlangsung apa adanya dan sebagaimana mestinya. Ku hirup dalam-dalam aroma kesejukan embun pagi itu, dengan sisa-sisa bulir air ‘sesepan’ yang masih sesekali macet di hidungku, sehingga memaksa mulutku mengeluarkan bunyi ‘hacing’, sembari gerak refleks menutup mata. Ya, tiap pagi ketika sebelum air wudlu benar-benar membuatku melek, ku biasakan untuk menyerap air melalui hidung. Alasannya simpel, karna teringat akan sebuah hadits dan wejangan seorang guru ketika ngaji masa kecil dulu, yang sampai saat ini masih menjadi bagian kecil yang ku pertahankan, bahwa setiap kali bangun tidur –sebelum wudlu, disunnahkan untuk nyesep (menghirup) air melalui hidung, agar aroma setan yang terhirup ketika ‘mati suri’ segera melarikan diri dari tubuh kita.

Sepagi itu, ternyata ada sebuah pesan masuk pada handphone Nokia 2600 classic-ku. Hal yang sangat jarang terjadi karna memang hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahui nomor As-ku. Tak ku ketahui itu nomor siapa, jadi ku respon saja dengan menanyakan identitasnya. Beberapa saat, baru ku tau ternyata itu adalah salah satu familyku dari Bojonegoro, dari keluarga Pakde yang merupakan suami dari kakak Ibuku. Kak Doel, begitulah sapaan akrabnya. Dia mengabarkan kedatangannya di kota Gudeg ini, sembari menyampaikan titipan dari orang tuaku dari rumah untukku. Setelah bernegosiasi menyusun propaganda pertemuan untuk hari itu, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa aku yang akan menemuinya di Bantul, di rumah temannya yang sekaligus tetanggaku di Bojonegoro dan akrab ku sapa Mas Wit.

Segera ku tarik tubuhku ke kamar mandi, untuk kemudian mengguyurnya dengan air yang tak pernah ku rasakan dingin, meskipun mandi sepagi itu –pukul 6. Ya, menurut adat kebiasaanku, juga mungkin para mahasiswa pada umumnya, mandi sepagi itu merupakan fenomena yang langka. Karna lebih suka mandi ketika siang, kecuali jika memang ada keperluan seperti ini. Setelah selesai menyegarkan diri, ku raih sebuah kunci motor Honda Revo yang menggelantung pada rak bukuku, kemudian ku tarik motorku menuju teras sempit depan kosku untuk memanaskannya. Ah, sepagi itu sudah harus menghirup asap knalpot motor, mencemari pernafasan saja, sedikit keluhku dalam batin. Dan setelah menanyakan rute menuju rumah mas Wit di daerah Bantul, segera ku pacu saja kuda mesinku menyusuri jalan raya kota Jogja pagi itu.

Rumahnya mas Wit ternyata berada di dekat kampus UMY, dan untuk menuju ke sana harus menyusuri sepanjang jalan raya dan juga ringroad selatan selama kurang lebih 60menit, melewati sekitar 13 lampu merah dari tempatku. Jarak yang lumayan juga, tapi ku berhasil menemukan rumahnya yang terletak di daerah Perumahan Griya Mandiri.

Sesampainya di sana, ku jabatkan tangan ini pada Kak Doel dan istrinya –mbak Ika, juga pada mas Wit dan istrinya –mbak Desi. Dan tak lupa juga ku menyapa dua kesatria kecil kak Doel; Niko dan Adil, serta jagoan kecil mas Wit; Fahri. Obrolan macam-macam pun segera mengalir begitu saja dari mulut kami semua, sambil menyeruput teh hangat pada cangkir kecil yang disuguhkan oleh tuan rumah.

Setelah menikmati sarapan sambel lele buatan mbak Desi, segera ku berniat untuk cabut. Akan tetapi kemudian niatku kalah dengan ajakan kak Doel untuk keliling kota Jogja. Okelah, kapan lagi bisa ngumpul-ngumpul dengan keluarga gini, pikirku. Dan demi itu, harus ku relakan waktu yang seharusnya telah ku rencanakan untuk mengikuti bedah buku yang dihadiri oleh Cak Nun, sekaligus harus ku ambil jatah mbolosku yang masih utuh.

Dengan mengendarai Kijang Innova, berangkatlah kami berlima –aku, kak Doel, mbak Ika, Niko dan Adil. Segera ku rekomendasikan untuk menyusuri pantai Depok dulu, yang berdekatan dengan Parangtritis dan kebetulan tidak terlalu jauh untuk ditempuh.

Setelah sekitar 30 menitan, sampailah Kijang Innova yang kami kendarai di Pantai Depok. Bau asin segera menyerbu hidung kami, dan tak memberikan waktu luang barang sejenak saja agar hidung kami terbebas dari siksaan bau itu. Pantai terlihat lengang pagi itu. hanya terlihat beberapa orang saja yang berseliweran sana sini. Ku perhatikan ombak yang bergulung-gulung di pantai begitu ganas memperlihatkan taringnya, membuat kebanyakan orang tak berani untuk sekedar mendekat saja ke bibir pantai. Dan dengan terpaksa, hanya bisa melihat dan melihatnya dari jauh saja. Sambil ngudud, para nelayan-nelayan di pantai itu terlihat begitu menikmati pemandangan yang jelas sudah begitu akrab dengan mereka.

Ku pandangi dan ku hirup dalam-dalam saja aroma pantai pagi itu, sambil sesekali berfoto dengan mbak Ika, juga Niko-Adil, dan sendirian. Dan ku lihat beberapa saat setelah itu, kak Doel dengan istri dan kedua anaknya menyewa motor track untuk kemudian menyusuri sebagian kecil daerah pantai Depok, dengan motor tersebut.

Dan inilah hasil jepretan kami selama di pantai Depok J

Aku dan Mbak Ika di bibir pantai Depok, hayo cantikan mana… Xixixi

Berpose sendiri, sambil menyusuri pasir-pasir pantai Depok, J


Ngapain mbak?  Udah penuh tuh, segera pindah >.<

Setelah merasakan jenuh di pantai, kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah saudara mbak Ika, yang masih berada di daerah Bantul, di daerah Jl. Imogiri Timur. Setelah muter-muter menyusuri gang-gang kecil dan sempit, sampailah kami di tempat tujuan. Tak ada hal istimewa yang terjadi di sana, selain bertambahnya saudara se-Bojonegoro yang berada di Jogja ini. Dan setelah usai melaksanakan shalat Jum’at dan dzuhur, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Kaliurang –rumah mas Ali, yang juga masih familiku dan teman dekat Abahku.

Setelah menembus jalan dari daerah ringroad selatan menuju ke daerah ringroad utara selama kurang lebih 60 menit, sampailah kami di rumah mas Ali yang berada di radius 12km dari gunung merapi, juga diapit oleh dua sungai besar yang sekarang menjadi sungai pasir sejak meletusnya merapi pada 2010 silam, yaitu sungai Opak dan sungai Gendol. Rumah yang cukup besar, dengan toko yang besar pula. Dan rumah ini terlihat begitu strategis karena bearada tepat di perempatan besar yang sering dilewati oleh truk-truk besar pengangkut pasir.

Setelah bercuap-cuap ria, kami pun akhirnya memutuskan untuk naik menuju merapi, yang bagiku sudah ketiga kali itu ku lakukan. Dengan membawa dua juru kunci kecil –anaknya mas Ali yang bernama Uun dan Syafiq, melajulah Kijang Innova kami menyusuri jalan bebatuan yang menanjak-menurun menuju gunung merapi. Debu-debu tebal yang dihasilkan oleh jalan-jalan yang terlindas kendaraan-kendaraan pun sempat membuat pemandangan jalan kami terhalang. Ku perhatikan, sepertinya kak Doel ini memang sudah sangat biasa menyusuri jalan-jalan terjal. Terbukti, jalan-jalan bebatuan itu terus saja dilindas oleh Innova yang kami kendarai ini dengan lancar. Kalau pada kedatanganku yang kedua kali sebelumnya, ku hanya berhenti pada radius 7km dari puncak merapi, kali itu tidak. Innova terus saja melaju sampai pada sebuah lapangan luas tempat parkir mobil-mobil dan motor-motor di radius 3km dari puncak merapi.

Hawa dingin secepat kilat menyusup ke dalam tubuh kami, dan kabut tebal pun memenuhi langit dan menutupi pemandangan puncak merapi. Ah, sayang sekali. Padahal kami dan orang-orang yang di sana telah menunggu pemandangan yang sangat indah, yaitu menyaksikan kokohnya puncak merapi.

Sembari menunggu hilangnya kabut tebal yang menutupi langit dan gunung, ku seruput goodday cappuccino hangat di sebuah warung, agar rasa dingin yang mulai menyerang sedikit terkurangi. Sambil sesekali melihat bunga edelways yang terangkai indah di warung tersebut. Ya, siapa yang tak kenal bunga edelways yang memang cantik itu? semua hampir tau bahwa itu adalah bunga seumur hidup dan tak pernah mati, kecuali jika terkena air. Penjual bunga yang tak lain merupakan suami dari pemilik warung itupun menceritakan proses terangkainya bunga edelways yang indah itu, mulai dari pengambilannya dari tanaman aslinya, pengeringannya, pemberian warnanya, sampai harganya pun semua dijelaskan secara detail oleh Bapak yang ramah dan bermata coklat sedikit kebiru-biruan itu. harganya standart memang, yaitu 30.000,- untuk rangkaian kecil.

Beberapa menit setelah itu, pemandangan yang kami tunggu-tunggu pun datang. Sedikit demi sedikit, dan perlahan demi perlahan kabut asap tebal yang menutupi langit dan puncak merapi pun segera pergi, untuk sekedar memberi kesempatan untuk melihat, menikmati dan berpose kepada orang-orang yang telah menantikannya.

Ini nih gunung merapi yang masih kokok, yang berhasil kami abadikan dari radius 3km J


Baru nyampe udah narsis, J

Dan kami pun tak melewatkan kesempatan ini. Kebetulan di depan mata kami Nampak sebuah onggokan batu besar. Lantas, aku mengajak semua orang untuk naik ke atas batu itu dan berpose di sana, dengan background gunung merapi. Indahnya..

Berpose dengan anak-anak kecil, hihihi
(dari kiri; Uun, Syafiq, Niko, Adil dan aku –paling tua, J)


Kalo yang ini, ada tambahan personil, yaitu mbak Ika, J


Bergaya sendiri di depan gunung merapi, heuheu J

Perjalanan kami belum berhenti sampai situ, karna setelah puas berfoto-foto dengan gunung merapi, kak Doel memacu Innovanya menuju banker yang berjarak sekitar 2km dari puncak merapi, dan merupakan tempat persembunyian darurat ketika terjadi letusan.

Baru setelah itu, kami pun pulang ke rumah mas Ali, bebarengan dengan adzan maghrib serta senja sore dengan langit berwarna orange kekuning-kuningan yang sedikit mengobati rasa lelah kami…

Begitulah, indahnya menyambung silaturrahmi itu, baik dengan teman, sahabat, terlebih keluarga. Maka di balik itu semua, tentu akan memberikan suntikan energy positif pada jiwa.

That’s all, entah ini cerita, curhat, atau apa. Hanya sekedar corat-coret saja. Terimakasih kalau sudi membaca ini… Nantikan cerita petualanganku selanjutnya J


Jogja, 16 Maret 2013

Nieza Ayoe

Selasa, 19 Maret 2013

Malam 'Sajojo' di Jogja


Tetes-tetes tangisan langit masih membasahi bumi Jogja, terhitung sudah sejak dari jam 4 sore tadi, sampai kini - jam 8, ku perhatikan genangan air masih memenuhi jalan-jalan yang berlubang, sehingga membuatnya menjadi 'becek' dengan rupa kecoklat-coklatan seperti kopi susu. Gerimis pun ternyata masih begitu krasan singgah di kota istimewa ini.

Sudah sekitar seminggu ini kota Jogja punya 'gawe', yakni Pesta Buku Jogja 2013 dengan tema "Jogja membaca kembali". Terhitung sejak tanggal 13 Maret 2013 kemarin, gedung Mandala Bhakti Wanitatama yang berada di Jl. Solo dan bertengger persis di sebelah barat kampus Sunan Kalijaga ini, begitu ramai dipadati pengunjung yang begitu haus akan nutrisi asupan gizi yang terkandung dalam buku. Siapa kira, ternyata buku memang memiliki asupan gizi yang sangat tinggi dari apapun. Tak sekedar vitamin A, B, atau C saja. Bahkan vitamin A-Z tekandung di dalamnya, dan terangkai begitu indah dan bermakna, tak sekedar pajangan tulisan saja. 

Acara ini dihelat oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) kota Yogyakarta yang berkerjasama dengan berbagai sponsor yang menyokongnya, sampai tanggal 19 Maret 2013 -malam ini. Tak tanggung-tanggung, deretan mobil yang berjajar di bibir Jl. Solo pun memenuhi hari-hari itu; pesta buku. Apalagi jumlah motor, sudah tak terhitung dah berapa puluh motor yang terparkir di area yang telah disediakan.

Sejenak ku seret kakiku untuk menaiki 'lebah besi'ku, menerjang gerimis malam kota Jogja menuju acara itu. "dan...yang memenangkan doorprize berupa setrika adalah...bla..bla..bla..", terdengar suara MC acara yang masih membacakan undian-undian berhadiah ketika baru saja ku menemukan tempat nyaman buat singgah 'lebah besi'ku. Walaupun gerimis masih krasan di Jogja malam ini, tapi hal itu tak mengurangi keramaian pengunjung bookfair. Maklum, kan malam terakhir. Segera ku ambil posisi duduk di deretan kursi yang tersedia. Beberapa menit kemudian, acara pengundian doorprize pun selesai dengan dibacakannya pemenang sebuah TV 14". 

Para pengunjung yang kecewa lantaran belum beruntung mendapatkan doorprize pun segera melepaskan pantatnya masing-masing dari terkaman kursi yang dianggapnya 'panas' itu. Terlihat wajah kusut dan sebel mereka mencoba menghibur diri sendiri dengan mengikhlaskannya.

"dan...mari kita sambut penampilan yang sudah kita tunggu-tunggu, yaitu penampilan dari Sanggar Nusantara yang sekaligus menutup rangkaian acara bookfair pada kali ini...", suara MC perempuan yang berpenampilan sederhana dengan balutan busana dan jilbab cukup modis ini membuyarkan konsentrasiku yang masih terpaku mengamati orang-orang sekitar. Terlihat setelah itu 4 orang laki-laki dengan membawa alat musik sesuai kemampuannya masing-masing, ke atas panggung. Juga terekam 4 orang perempuan dan 4 laki-laki yang berjajar di samping panggung dengan berpakaian khas adat Papua, sudah tidak sabar menantikan gilirannya untuk memeriahkan panggung itu. 

Tiba-tiba tawa para pengunjung malam itu pecah, lantaran seorang laki-laki berperawakan tinggi dan 'pas'; tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, tapi cukup tampan, yang naik ke atas panggung dengan mengenakan boxer berwarna biru laut dengan lapisan selembar handuk yang terikat di pinggangnya. Yang lebih menggelikan lagi, laki-laki itu rambutnya berbusa, persis seperti orang yang habis mandi 'besar' yang di tengah-tengah jalan kehabisan air, sehingga busa shampo pun masih menggelayut di batang-batang rambutnya. Kontan saja para pengunjung dibuat heboh dan kaget karena mengira dia orang gila yang menyusup begitu saja di panggung, pun termasuk aku mengira seperti itu.

Akan tetapi kemudian ketika melihat dia menenteng gitar dan kemudian duduk silo di antara 4 laki-laki pemain alat musik itu pun, kami segera sadar bahwa dia masih lelaki normal dan bukan orang gila. Lantas, kami pun dibuatnya terkagum-kagum melihat kelihaiannya memainkan gitar, seruling, juga gendang secara bergantian mengiringi para penari-penari, yang satu persatu mulain meliuk-liukkan badannya di depan kami -padahal penampilannya nggak karuan seperti itu ternyata kemampuan dalam musiknya tak bisa diremehkan. Tepuk tangan pun segara membahana di sela-sela tarian indah dengan iringan musik yang tak kalah indah, yang keduanya berjenis musik timur (baca: Papua) itu. 

Di sela-sela jeda penampilan, ku perhatikan si orang aneh berhanduk itu ternyata sedang mencari-cari kesempatan mengucek matanya yang perih terkena busa shampo, yang memang masih mengalir di kepala dan wajahnya itu. Berkali-kali dia melakukan itu. Sontak ku tak bisa menahan tawaku sendiri melihat pemandangan itu. Gayanya berlaku aneh, unik dan menarik, tapi ternyata malah kena getahnya sendiri. Hahaha..

Tapi ya memang seperti itulah seni. Dia tak pernah peduli akan penampilannya yang begitu acak-acakan, dan sering dianggap aneh bahkan gila oleh orang-orang awam. Karena itu ia anggap sebagai representasi akan sebuah kebebasan yang begitu dirindukan banyak orang. Bagi seniman dan penikmat seni, tentu hal itu tak akan menjadi masalah. Malah bisa jadi nilai plus yang akan membuat orang semakin mengukuhkan dan mengakui eksistensinya sebagai seorang seniman. Ku lirik beberapa orang di dekatku -yang berasal dari Timur juga tak bisa menahan tawanya melihat adegan mengucek mata itu.

Setelah 4 orang penari perempuan menyuguhkan penampilannya, sekarang giliran 4 laki-laki kurus beraksi. 2 orang membawa busur panah, dua lainnya dengan tangan kosong. Dengan hanya memakai kain berwarna coklat susu yang bertengger pada bagian pusar sampai lutut -sesuai dengan adat mereka, mereka berempat berkolaborasi membawakan tarian daerahnya dengan begitu asik dan membuat penonton begitu menikmatinya. Beberapa saat kemudian, terlihat 4 orang laki-laki itu menepi di bagian samping depan panggung, untuk kemudian bergabung dengan 4 penari perempuan yang telah tampil sebelumnya. Mereka berdelapan itu pun kembali memenuhi panggung dengan tarian dan iringan musik "sajojo" dari Papua. 

Begitu asiknya pembawaan tarian dan musik itu, sehingga membuat seorang laki-laki -dengan membawa sebungkus kresek putih yang berisikan buku, terlihat masuk begitu saja pada kerumunan para penari itu, sambil bergoyang tak keruan tentu saja. Para penonton pun kembali dibuat ngakak dengan pemandangan itu. Akan tetapi, siapa sangka ternyata dari ulahnya yang nekat dan tak tau malu itu pada akhirnya membuat para penonton satu-persatu mengikuti jejaknya; ikut menari di panggung.

Para penari pun langsung merangsek masuk pada kerumunan penonton yang masih duduk berjejer rapi di kursi, dan mereka -para penari- itu menarik satu persatu orang-orang di dekatnya, entah dikenalnya atau tidak, untuk kemudian diajaknya menari rame-rame di panggung. Diriku pun tak luput hampir menjadi korban amukan para penari itu, untung bisa menolak. Dan beberapa saat setelah itu ku lihat panggung sudah penuh berisikan para penonton yang mencoba meliuk-liukkan tangannya, kakinya, serta tubuhnya sekenanya mengikuti para penari yang berada di barisan terdepan. Beberapa saat setelah itu, tarian dan musik pun selesai dengan sambutan tepuk tangan yang sangat meriah...

Indonesia memang kaya akan budaya yang begitu berharga, maka mari kita biasakan mulai dari diri kita sendiri untuk mempertahankan aset berharga Negara tersebut. Dan Jogja, ah lagi-lagi kau menyihirku dengan pesonamu dan sajian-sajianmu yang begitu memikatku, membuat hatiku selalu berdesis syukur karena telah diberi kesempatan untuk menjadi bagian darimu...

Ketradisionalan, keramahan, serta kuatnya cengkramanmu pada budaya-budaya Nusantara, tentu akan menjadikan kau tetap juara dalam hal "istimewa"... dan membuatku berucap... "hanya orang bodoh yang nggak krasan tinggal di Jogja" :)



Jogja, 20 Maret 2013



Nieza Ayoe