Selasa, 19 Maret 2013

Malam 'Sajojo' di Jogja


Tetes-tetes tangisan langit masih membasahi bumi Jogja, terhitung sudah sejak dari jam 4 sore tadi, sampai kini - jam 8, ku perhatikan genangan air masih memenuhi jalan-jalan yang berlubang, sehingga membuatnya menjadi 'becek' dengan rupa kecoklat-coklatan seperti kopi susu. Gerimis pun ternyata masih begitu krasan singgah di kota istimewa ini.

Sudah sekitar seminggu ini kota Jogja punya 'gawe', yakni Pesta Buku Jogja 2013 dengan tema "Jogja membaca kembali". Terhitung sejak tanggal 13 Maret 2013 kemarin, gedung Mandala Bhakti Wanitatama yang berada di Jl. Solo dan bertengger persis di sebelah barat kampus Sunan Kalijaga ini, begitu ramai dipadati pengunjung yang begitu haus akan nutrisi asupan gizi yang terkandung dalam buku. Siapa kira, ternyata buku memang memiliki asupan gizi yang sangat tinggi dari apapun. Tak sekedar vitamin A, B, atau C saja. Bahkan vitamin A-Z tekandung di dalamnya, dan terangkai begitu indah dan bermakna, tak sekedar pajangan tulisan saja. 

Acara ini dihelat oleh IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) kota Yogyakarta yang berkerjasama dengan berbagai sponsor yang menyokongnya, sampai tanggal 19 Maret 2013 -malam ini. Tak tanggung-tanggung, deretan mobil yang berjajar di bibir Jl. Solo pun memenuhi hari-hari itu; pesta buku. Apalagi jumlah motor, sudah tak terhitung dah berapa puluh motor yang terparkir di area yang telah disediakan.

Sejenak ku seret kakiku untuk menaiki 'lebah besi'ku, menerjang gerimis malam kota Jogja menuju acara itu. "dan...yang memenangkan doorprize berupa setrika adalah...bla..bla..bla..", terdengar suara MC acara yang masih membacakan undian-undian berhadiah ketika baru saja ku menemukan tempat nyaman buat singgah 'lebah besi'ku. Walaupun gerimis masih krasan di Jogja malam ini, tapi hal itu tak mengurangi keramaian pengunjung bookfair. Maklum, kan malam terakhir. Segera ku ambil posisi duduk di deretan kursi yang tersedia. Beberapa menit kemudian, acara pengundian doorprize pun selesai dengan dibacakannya pemenang sebuah TV 14". 

Para pengunjung yang kecewa lantaran belum beruntung mendapatkan doorprize pun segera melepaskan pantatnya masing-masing dari terkaman kursi yang dianggapnya 'panas' itu. Terlihat wajah kusut dan sebel mereka mencoba menghibur diri sendiri dengan mengikhlaskannya.

"dan...mari kita sambut penampilan yang sudah kita tunggu-tunggu, yaitu penampilan dari Sanggar Nusantara yang sekaligus menutup rangkaian acara bookfair pada kali ini...", suara MC perempuan yang berpenampilan sederhana dengan balutan busana dan jilbab cukup modis ini membuyarkan konsentrasiku yang masih terpaku mengamati orang-orang sekitar. Terlihat setelah itu 4 orang laki-laki dengan membawa alat musik sesuai kemampuannya masing-masing, ke atas panggung. Juga terekam 4 orang perempuan dan 4 laki-laki yang berjajar di samping panggung dengan berpakaian khas adat Papua, sudah tidak sabar menantikan gilirannya untuk memeriahkan panggung itu. 

Tiba-tiba tawa para pengunjung malam itu pecah, lantaran seorang laki-laki berperawakan tinggi dan 'pas'; tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus, tapi cukup tampan, yang naik ke atas panggung dengan mengenakan boxer berwarna biru laut dengan lapisan selembar handuk yang terikat di pinggangnya. Yang lebih menggelikan lagi, laki-laki itu rambutnya berbusa, persis seperti orang yang habis mandi 'besar' yang di tengah-tengah jalan kehabisan air, sehingga busa shampo pun masih menggelayut di batang-batang rambutnya. Kontan saja para pengunjung dibuat heboh dan kaget karena mengira dia orang gila yang menyusup begitu saja di panggung, pun termasuk aku mengira seperti itu.

Akan tetapi kemudian ketika melihat dia menenteng gitar dan kemudian duduk silo di antara 4 laki-laki pemain alat musik itu pun, kami segera sadar bahwa dia masih lelaki normal dan bukan orang gila. Lantas, kami pun dibuatnya terkagum-kagum melihat kelihaiannya memainkan gitar, seruling, juga gendang secara bergantian mengiringi para penari-penari, yang satu persatu mulain meliuk-liukkan badannya di depan kami -padahal penampilannya nggak karuan seperti itu ternyata kemampuan dalam musiknya tak bisa diremehkan. Tepuk tangan pun segara membahana di sela-sela tarian indah dengan iringan musik yang tak kalah indah, yang keduanya berjenis musik timur (baca: Papua) itu. 

Di sela-sela jeda penampilan, ku perhatikan si orang aneh berhanduk itu ternyata sedang mencari-cari kesempatan mengucek matanya yang perih terkena busa shampo, yang memang masih mengalir di kepala dan wajahnya itu. Berkali-kali dia melakukan itu. Sontak ku tak bisa menahan tawaku sendiri melihat pemandangan itu. Gayanya berlaku aneh, unik dan menarik, tapi ternyata malah kena getahnya sendiri. Hahaha..

Tapi ya memang seperti itulah seni. Dia tak pernah peduli akan penampilannya yang begitu acak-acakan, dan sering dianggap aneh bahkan gila oleh orang-orang awam. Karena itu ia anggap sebagai representasi akan sebuah kebebasan yang begitu dirindukan banyak orang. Bagi seniman dan penikmat seni, tentu hal itu tak akan menjadi masalah. Malah bisa jadi nilai plus yang akan membuat orang semakin mengukuhkan dan mengakui eksistensinya sebagai seorang seniman. Ku lirik beberapa orang di dekatku -yang berasal dari Timur juga tak bisa menahan tawanya melihat adegan mengucek mata itu.

Setelah 4 orang penari perempuan menyuguhkan penampilannya, sekarang giliran 4 laki-laki kurus beraksi. 2 orang membawa busur panah, dua lainnya dengan tangan kosong. Dengan hanya memakai kain berwarna coklat susu yang bertengger pada bagian pusar sampai lutut -sesuai dengan adat mereka, mereka berempat berkolaborasi membawakan tarian daerahnya dengan begitu asik dan membuat penonton begitu menikmatinya. Beberapa saat kemudian, terlihat 4 orang laki-laki itu menepi di bagian samping depan panggung, untuk kemudian bergabung dengan 4 penari perempuan yang telah tampil sebelumnya. Mereka berdelapan itu pun kembali memenuhi panggung dengan tarian dan iringan musik "sajojo" dari Papua. 

Begitu asiknya pembawaan tarian dan musik itu, sehingga membuat seorang laki-laki -dengan membawa sebungkus kresek putih yang berisikan buku, terlihat masuk begitu saja pada kerumunan para penari itu, sambil bergoyang tak keruan tentu saja. Para penonton pun kembali dibuat ngakak dengan pemandangan itu. Akan tetapi, siapa sangka ternyata dari ulahnya yang nekat dan tak tau malu itu pada akhirnya membuat para penonton satu-persatu mengikuti jejaknya; ikut menari di panggung.

Para penari pun langsung merangsek masuk pada kerumunan penonton yang masih duduk berjejer rapi di kursi, dan mereka -para penari- itu menarik satu persatu orang-orang di dekatnya, entah dikenalnya atau tidak, untuk kemudian diajaknya menari rame-rame di panggung. Diriku pun tak luput hampir menjadi korban amukan para penari itu, untung bisa menolak. Dan beberapa saat setelah itu ku lihat panggung sudah penuh berisikan para penonton yang mencoba meliuk-liukkan tangannya, kakinya, serta tubuhnya sekenanya mengikuti para penari yang berada di barisan terdepan. Beberapa saat setelah itu, tarian dan musik pun selesai dengan sambutan tepuk tangan yang sangat meriah...

Indonesia memang kaya akan budaya yang begitu berharga, maka mari kita biasakan mulai dari diri kita sendiri untuk mempertahankan aset berharga Negara tersebut. Dan Jogja, ah lagi-lagi kau menyihirku dengan pesonamu dan sajian-sajianmu yang begitu memikatku, membuat hatiku selalu berdesis syukur karena telah diberi kesempatan untuk menjadi bagian darimu...

Ketradisionalan, keramahan, serta kuatnya cengkramanmu pada budaya-budaya Nusantara, tentu akan menjadikan kau tetap juara dalam hal "istimewa"... dan membuatku berucap... "hanya orang bodoh yang nggak krasan tinggal di Jogja" :)



Jogja, 20 Maret 2013



Nieza Ayoe

Tidak ada komentar:

Posting Komentar