Dokumentasi Acara Marsinah Menggugat, Rabu malam (08/05/2013) at Titik Nol Jogja
Sehingga Marsinah
Tetap Hidup, 08 Mei 1993*
Marsinah mati muda
Sementara kami
beranjak muda
Ia marah pada kodim
Kami cemas pada NEM
Ia bela keadilan
kawan-kawannya yang di PHK
Kami bersaing agar
pandai dan gampang cari kerja
Padahal, Marsinah
tak butuh nilai tinggi
Untuk jadi berani
Atau kerja patuh
untuk jadi kaya
Marsinah tak kuliah hukum
Agar dapat nulis
surat protes pada penguasa
Tak pun bergelar
sarjana hukum
Untuk tegak muka
pada aparat kodim, pembela pengusaha
Marsinah, buruh
biasa
Sembilan belas tahun
telah lewat
Soeharto orde baru
sudah tiada
Namun, keadilan
baginya masih pekat
Karena politik dan
tentara
Tetap pelayan
pengusaha dan pendukung orba
Jangankan penghargaan
semu
Nama jalan atau tugu
Yang ada hanya
pengadilan palsu
Penghargaan pelipur
pilu
Sepotong film dan
lagu
Dari pemandai seni
pemintai masa lalu
Sementara,
Kami perlu
berjilid-jilid buku
Oleh orang-orang
yang mau maju
Menggugat sejarah
lalu
Mengurai hubungan
tentara,
Pengusaha, dan orde
baru
Penyabab ia tak
kembali, malam itu
Kami butuh waktu
Tak saja siapa
pelaku
Kemana ia pergi di
hari rabu
Hingga terbaring
celaka di pinggir sawah,
100 kilometer dari
pondokannya, saat itu
Namun juga,
Kenapa ia disiksa,
Masuk fikiran apa
yang rasuk kepada manusia,
Hingga tega
menyiksa, memukul, menyeret-nyeret, mengikat, menghancurkan tulang panggul, dan
merusak vagina
Darimana kejahatan
itu datang, yang membuat manusia
Sanggup luluh
lantakkan kemanusiaan manusia lainnya?
Seketika Marsinah
bukan lagi buruh biasa
Ia buruh perempuan
yang melawan
Dengan kehormatan
dan nyawa sebagai taruhan!
Kini Marsinah jadi
sejarah
Pabrik dan rumah
habis disantap
Lapindo dengan kuah
lumpur tanah
Tak disebutkan di
sekolah-sekolah
Apalagi dibicarakan
di rumah-rumah
Tetapi diingat-ingat
dalam pesan unjuk rasa di jalan
Surat protesnya
diteruskan dalam jilid-jilid selebaran
Keberaniannya jadi
inspirasi, agar tak mudah kalah
Berserikat atau
tanpa serikat,
Berkumpul atau
seorang diri,
Harga diri adalah
martabat
Dan hak yang tak
boleh patah
Solidaritas adalah
kasih sayang,
Yang memperpanjang
umur perjuangan
Dan itulah saja
senjata kita,
Perempuan-perempuan
pelawan zaman
Sehingga Marsinah
tetap hidup
Bukan dalam gua dan
do’a
Tapi dalam pikiran
dan rongga dada
Buruh-buruh
perempuan yang tegak muka dan bicara
Dalam
serikat-serikat pekerja,
Di rumah tangga,
Di jalan raya,
Di hadapan personalia
dan pengusaha,
Dalam berkas dan sidang
perkara
Dari suara tua,
Dalam ceramah-ceramah
agama
Menuntut dikembalikannya
Imbal kerja yang
setara
Melawan kejahatan
terhadap tubuh dan jiwanya
Untuk itu,
Kami tidak bisa haru
biru
Atau meratap pilu
dengan lidah kelu
Kami perlu rezim
baru
Hasil perjuangan
kaum yang sama nasibnya dengannya
Agar harapan,
keadilan, dan pengadilan menjadi nyata
Tak hanya baginya,
Juga semua manusia
yang dijahati orba,
Penguasa dan tentara
Zelly Ariane,
Tebet, 08052012,
10:56
*Puisi ini adalah
puisi buatan Zelly Ariane, seorang aktivis perempuan Mahardika. Senang rasanya
karena diberi kesempatan untuk membacakan puisi ini oleh si empunya, di acara “Marsinah
Menggugat”, yang diadakan oleh komunitas perempuan se-DIY, pada Rabu, 08 Mei
2013 di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, sebuah kawasan di kota gudeg
yang selalu ramai, cukup romantis dan eksotis bagiku. Terimakasih mbak Zelly
atas puisinya, puisi yang indah dan kritis, semoga bisa berjumpa lagi di
kesempatan lain.