Jumat, 10 Mei 2013

Puisi Zelly Ariane


Dokumentasi Acara Marsinah Menggugat, Rabu malam (08/05/2013) at Titik Nol Jogja

Sehingga Marsinah Tetap Hidup, 08 Mei 1993*

Marsinah mati muda
Sementara kami beranjak muda
Ia marah pada kodim
Kami cemas pada NEM
Ia bela keadilan kawan-kawannya yang di PHK
Kami bersaing agar pandai dan gampang cari kerja

Padahal, Marsinah tak butuh nilai tinggi
Untuk jadi berani
Atau kerja patuh untuk jadi kaya
Marsinah tak kuliah hukum
Agar dapat nulis surat protes pada penguasa
Tak pun bergelar sarjana hukum
Untuk tegak muka pada aparat kodim, pembela pengusaha
Marsinah, buruh biasa

Sembilan belas tahun telah lewat
Soeharto orde baru sudah tiada
Namun, keadilan baginya masih pekat
Karena politik dan tentara
Tetap pelayan pengusaha dan pendukung orba

Jangankan penghargaan semu
Nama jalan atau tugu
Yang ada hanya pengadilan palsu
Penghargaan pelipur pilu
Sepotong film dan lagu
Dari pemandai seni pemintai masa lalu

Sementara,
Kami perlu berjilid-jilid buku
Oleh orang-orang yang mau maju
Menggugat sejarah lalu
Mengurai hubungan tentara,
Pengusaha, dan orde baru
Penyabab ia tak kembali, malam itu

Kami butuh waktu
Tak saja siapa pelaku
Kemana ia pergi di hari rabu
Hingga terbaring celaka di pinggir sawah,
100 kilometer dari pondokannya, saat itu
Namun juga,
Kenapa ia disiksa,
Masuk fikiran apa yang rasuk kepada manusia,
Hingga tega menyiksa, memukul, menyeret-nyeret, mengikat, menghancurkan tulang panggul, dan merusak vagina
Darimana kejahatan itu datang, yang membuat manusia
Sanggup luluh lantakkan kemanusiaan manusia lainnya?

Seketika Marsinah bukan lagi buruh biasa
Ia buruh perempuan yang melawan
Dengan kehormatan dan nyawa sebagai taruhan!

Kini Marsinah jadi sejarah
Pabrik dan rumah habis disantap
Lapindo dengan kuah lumpur tanah
Tak disebutkan di sekolah-sekolah
Apalagi dibicarakan di rumah-rumah
Tetapi diingat-ingat dalam pesan unjuk rasa di jalan
Surat protesnya diteruskan dalam jilid-jilid selebaran
Keberaniannya jadi inspirasi, agar tak mudah kalah
Berserikat atau tanpa serikat,
Berkumpul atau seorang diri,
Harga diri adalah martabat
Dan hak yang tak boleh patah
Solidaritas adalah kasih sayang,
Yang memperpanjang umur perjuangan
Dan itulah saja senjata kita,
Perempuan-perempuan pelawan zaman

Sehingga Marsinah tetap hidup
Bukan dalam gua dan do’a
Tapi dalam pikiran dan rongga dada
Buruh-buruh perempuan yang tegak muka dan bicara
Dalam serikat-serikat pekerja,
Di rumah tangga,
Di jalan raya,
Di hadapan personalia dan pengusaha,
Dalam berkas dan sidang perkara
Dari suara tua,
Dalam ceramah-ceramah agama
Menuntut dikembalikannya
Imbal kerja yang setara
Melawan kejahatan terhadap tubuh dan jiwanya

Untuk itu,
Kami tidak bisa haru biru
Atau meratap pilu dengan lidah kelu
Kami perlu rezim baru
Hasil perjuangan kaum yang sama nasibnya dengannya
Agar harapan, keadilan, dan pengadilan menjadi nyata
Tak hanya baginya,
Juga semua manusia yang dijahati orba,
Penguasa dan tentara


Zelly Ariane,
Tebet, 08052012, 10:56

*Puisi ini adalah puisi buatan Zelly Ariane, seorang aktivis perempuan Mahardika. Senang rasanya karena diberi kesempatan untuk membacakan puisi ini oleh si empunya, di acara “Marsinah Menggugat”, yang diadakan oleh komunitas perempuan se-DIY, pada Rabu, 08 Mei 2013 di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta, sebuah kawasan di kota gudeg yang selalu ramai, cukup romantis dan eksotis bagiku. Terimakasih mbak Zelly atas puisinya, puisi yang indah dan kritis, semoga bisa berjumpa lagi di kesempatan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar