Embun pagi masih menebarkan kesejukannya, bebarengan dengan
matahari yang mulai menyembul malu-malu dari ufuk bagian timur. Memendarkan cahaya
dan energi terdahsyatnya bagi bumi dan seisinya, agar dinamika kehidupan tetap
berlangsung apa adanya dan sebagaimana mestinya. Ku hirup dalam-dalam aroma
kesejukan embun pagi itu, dengan sisa-sisa bulir air ‘sesepan’ yang
masih sesekali macet di hidungku, sehingga memaksa mulutku mengeluarkan bunyi ‘hacing’,
sembari gerak refleks menutup mata. Ya, tiap pagi ketika sebelum air wudlu benar-benar
membuatku melek, ku biasakan untuk menyerap air melalui hidung. Alasannya simpel,
karna teringat akan sebuah hadits dan wejangan seorang guru ketika ngaji
masa kecil dulu, yang sampai saat ini masih menjadi bagian kecil yang ku
pertahankan, bahwa setiap kali bangun tidur –sebelum wudlu, disunnahkan untuk nyesep
(menghirup) air melalui hidung, agar aroma setan yang terhirup ketika ‘mati
suri’ segera melarikan diri dari tubuh kita.
Sepagi itu, ternyata ada sebuah pesan masuk pada handphone Nokia
2600 classic-ku. Hal yang sangat jarang terjadi karna memang hanya orang-orang tertentu
saja yang mengetahui nomor As-ku. Tak ku ketahui itu nomor siapa, jadi ku
respon saja dengan menanyakan identitasnya. Beberapa saat, baru ku tau ternyata
itu adalah salah satu familyku dari Bojonegoro, dari keluarga Pakde yang
merupakan suami dari kakak Ibuku. Kak Doel, begitulah sapaan akrabnya. Dia mengabarkan
kedatangannya di kota Gudeg ini, sembari menyampaikan titipan dari orang tuaku
dari rumah untukku. Setelah bernegosiasi menyusun propaganda pertemuan untuk
hari itu, akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa aku yang akan menemuinya di
Bantul, di rumah temannya yang sekaligus tetanggaku di Bojonegoro dan akrab ku
sapa Mas Wit.
Segera ku tarik tubuhku ke kamar mandi, untuk kemudian
mengguyurnya dengan air yang tak pernah ku rasakan dingin, meskipun mandi
sepagi itu –pukul 6. Ya, menurut adat kebiasaanku, juga mungkin para mahasiswa
pada umumnya, mandi sepagi itu merupakan fenomena yang langka. Karna lebih suka
mandi ketika siang, kecuali jika memang ada keperluan seperti ini. Setelah selesai
menyegarkan diri, ku raih sebuah kunci motor Honda Revo yang menggelantung pada
rak bukuku, kemudian ku tarik motorku menuju teras sempit depan kosku untuk
memanaskannya. Ah, sepagi itu sudah harus menghirup asap knalpot motor,
mencemari pernafasan saja, sedikit keluhku dalam batin. Dan setelah menanyakan
rute menuju rumah mas Wit di daerah Bantul, segera ku pacu saja kuda mesinku menyusuri
jalan raya kota Jogja pagi itu.
Rumahnya mas Wit ternyata berada di dekat kampus UMY, dan untuk
menuju ke sana harus menyusuri sepanjang jalan raya dan juga ringroad selatan selama
kurang lebih 60menit, melewati sekitar 13 lampu merah dari tempatku. Jarak yang
lumayan juga, tapi ku berhasil menemukan rumahnya yang terletak di daerah
Perumahan Griya Mandiri.
Sesampainya di sana, ku jabatkan tangan ini pada Kak Doel dan
istrinya –mbak Ika, juga pada mas Wit dan istrinya –mbak Desi. Dan tak lupa
juga ku menyapa dua kesatria kecil kak Doel; Niko dan Adil, serta jagoan kecil
mas Wit; Fahri. Obrolan macam-macam pun segera mengalir begitu saja dari mulut
kami semua, sambil menyeruput teh hangat pada cangkir kecil yang disuguhkan
oleh tuan rumah.
Setelah menikmati sarapan sambel lele buatan mbak Desi, segera ku
berniat untuk cabut. Akan tetapi kemudian niatku kalah dengan ajakan kak Doel
untuk keliling kota Jogja. Okelah, kapan lagi bisa ngumpul-ngumpul dengan
keluarga gini, pikirku. Dan demi itu, harus ku relakan waktu yang seharusnya
telah ku rencanakan untuk mengikuti bedah buku yang dihadiri oleh Cak Nun, sekaligus
harus ku ambil jatah mbolosku yang masih utuh.
Dengan mengendarai Kijang Innova, berangkatlah kami berlima –aku,
kak Doel, mbak Ika, Niko dan Adil. Segera ku rekomendasikan untuk menyusuri
pantai Depok dulu, yang berdekatan dengan Parangtritis dan kebetulan tidak
terlalu jauh untuk ditempuh.
Setelah sekitar 30 menitan, sampailah Kijang Innova yang kami
kendarai di Pantai Depok. Bau asin segera menyerbu hidung kami, dan tak
memberikan waktu luang barang sejenak saja agar hidung kami terbebas dari
siksaan bau itu. Pantai terlihat lengang pagi itu. hanya terlihat beberapa
orang saja yang berseliweran sana sini. Ku perhatikan ombak yang
bergulung-gulung di pantai begitu ganas memperlihatkan taringnya, membuat
kebanyakan orang tak berani untuk sekedar mendekat saja ke bibir pantai. Dan dengan
terpaksa, hanya bisa melihat dan melihatnya dari jauh saja. Sambil ngudud,
para nelayan-nelayan di pantai itu terlihat begitu menikmati pemandangan yang
jelas sudah begitu akrab dengan mereka.
Ku pandangi dan ku hirup dalam-dalam saja aroma pantai pagi itu,
sambil sesekali berfoto dengan mbak Ika, juga Niko-Adil, dan sendirian. Dan ku
lihat beberapa saat setelah itu, kak Doel dengan istri dan kedua anaknya
menyewa motor track untuk kemudian menyusuri sebagian kecil daerah pantai
Depok, dengan motor tersebut.
Dan inilah hasil jepretan kami selama di pantai Depok J
Aku dan Mbak Ika di bibir pantai
Depok, hayo cantikan mana… Xixixi
Berpose
sendiri, sambil menyusuri pasir-pasir pantai Depok, J
Ngapain
mbak? Udah penuh tuh, segera pindah >.<
Setelah merasakan jenuh di pantai, kami pun melanjutkan perjalanan
ke rumah saudara mbak Ika, yang masih berada di daerah Bantul, di daerah Jl.
Imogiri Timur. Setelah muter-muter menyusuri gang-gang kecil dan sempit,
sampailah kami di tempat tujuan. Tak ada hal istimewa yang terjadi di sana,
selain bertambahnya saudara se-Bojonegoro yang berada di Jogja ini. Dan setelah
usai melaksanakan shalat Jum’at dan dzuhur, kami pun melanjutkan perjalanan
menuju Kaliurang –rumah mas Ali, yang juga masih familiku dan teman dekat
Abahku.
Setelah menembus jalan dari daerah ringroad selatan menuju ke daerah
ringroad utara selama kurang lebih 60 menit, sampailah kami di rumah mas Ali
yang berada di radius 12km dari gunung merapi, juga diapit oleh dua sungai
besar yang sekarang menjadi sungai pasir sejak meletusnya merapi pada 2010
silam, yaitu sungai Opak dan sungai Gendol. Rumah yang cukup besar, dengan toko
yang besar pula. Dan rumah ini terlihat begitu strategis karena bearada tepat di
perempatan besar yang sering dilewati oleh truk-truk besar pengangkut pasir.
Setelah bercuap-cuap ria, kami pun akhirnya memutuskan untuk naik
menuju merapi, yang bagiku sudah ketiga kali itu ku lakukan. Dengan membawa dua
juru kunci kecil –anaknya mas Ali yang bernama Uun dan Syafiq, melajulah Kijang
Innova kami menyusuri jalan bebatuan yang menanjak-menurun menuju gunung
merapi. Debu-debu tebal yang dihasilkan oleh jalan-jalan yang terlindas
kendaraan-kendaraan pun sempat membuat pemandangan jalan kami terhalang. Ku perhatikan,
sepertinya kak Doel ini memang sudah sangat biasa menyusuri jalan-jalan terjal.
Terbukti, jalan-jalan bebatuan itu terus saja dilindas oleh Innova yang kami
kendarai ini dengan lancar. Kalau pada kedatanganku yang kedua kali sebelumnya,
ku hanya berhenti pada radius 7km dari puncak merapi, kali itu tidak. Innova terus
saja melaju sampai pada sebuah lapangan luas tempat parkir mobil-mobil dan motor-motor
di radius 3km dari puncak merapi.
Hawa dingin secepat kilat menyusup ke dalam tubuh kami, dan kabut
tebal pun memenuhi langit dan menutupi pemandangan puncak merapi. Ah, sayang
sekali. Padahal kami dan orang-orang yang di sana telah menunggu pemandangan
yang sangat indah, yaitu menyaksikan kokohnya puncak merapi.
Sembari menunggu hilangnya kabut tebal yang menutupi langit dan
gunung, ku seruput goodday cappuccino hangat di sebuah warung, agar rasa
dingin yang mulai menyerang sedikit terkurangi. Sambil sesekali melihat bunga edelways
yang terangkai indah di warung tersebut. Ya, siapa yang tak kenal bunga edelways
yang memang cantik itu? semua hampir tau bahwa itu adalah bunga seumur hidup
dan tak pernah mati, kecuali jika terkena air. Penjual bunga yang tak lain
merupakan suami dari pemilik warung itupun menceritakan proses terangkainya
bunga edelways yang indah itu, mulai dari pengambilannya dari tanaman
aslinya, pengeringannya, pemberian warnanya, sampai harganya pun semua
dijelaskan secara detail oleh Bapak yang ramah dan bermata coklat sedikit
kebiru-biruan itu. harganya standart memang, yaitu 30.000,- untuk rangkaian
kecil.
Beberapa menit setelah itu, pemandangan yang kami tunggu-tunggu
pun datang. Sedikit demi sedikit, dan perlahan demi perlahan kabut asap tebal yang
menutupi langit dan puncak merapi pun segera pergi, untuk sekedar memberi kesempatan
untuk melihat, menikmati dan berpose kepada orang-orang yang telah
menantikannya.
Ini
nih gunung merapi yang masih kokok, yang berhasil kami abadikan dari radius 3km
J
Baru nyampe udah narsis, J
Dan kami pun tak melewatkan kesempatan ini. Kebetulan di depan
mata kami Nampak sebuah onggokan batu besar. Lantas, aku mengajak semua orang
untuk naik ke atas batu itu dan berpose di sana, dengan background gunung
merapi. Indahnya..
Berpose
dengan anak-anak kecil, hihihi
(dari
kiri; Uun, Syafiq, Niko, Adil dan aku –paling tua, J)
Kalo
yang ini, ada tambahan personil, yaitu mbak Ika, J
Bergaya
sendiri di depan gunung merapi, heuheu J
Perjalanan kami belum berhenti sampai situ, karna setelah puas
berfoto-foto dengan gunung merapi, kak Doel memacu Innovanya menuju banker yang
berjarak sekitar 2km dari puncak merapi, dan merupakan tempat persembunyian
darurat ketika terjadi letusan.
Baru setelah itu, kami pun pulang ke rumah mas Ali, bebarengan
dengan adzan maghrib serta senja sore dengan langit berwarna orange
kekuning-kuningan yang sedikit mengobati rasa lelah kami…
Begitulah, indahnya menyambung silaturrahmi itu, baik dengan
teman, sahabat, terlebih keluarga. Maka di balik itu semua, tentu akan
memberikan suntikan energy positif pada jiwa.
That’s all, entah ini cerita, curhat, atau apa. Hanya sekedar
corat-coret saja. Terimakasih kalau sudi membaca ini… Nantikan cerita petualanganku selanjutnya J
Jogja, 16
Maret 2013
Nieza Ayoe