Cerita
kelas
Ruangan
kelas begitu gaduh, maklum karena sudah kelas III Aliyah, alias III SMA, (dulu;
bahasa Talun-nya, kelas VI) dan waktu itu adalah jam terakhir pelajaran
hari Kamis. Sesuai dengan tradisi yang ada di sekolah, setiap 2 jam terakhir
hari kamis diisi dengan pelajaran latihan ‘unjuk gigi’ di hadapan audience
yang beragam, mulai dari kelas III Tsanawiy sampai kelas III Aliyah, yaitu ‘muhadloroh’
(pidato).
Sebenarnya
waktu itu bukanlah sekedar untuk latihan pidato saja, melainkan banyak juga
aktifitas lain, seperti saat dimana PPM (semacam OSIS) ‘beraksi’ menjalankan
tugasnya, mulai dari keliling ke masing-masing kelas, meriksa buku-buku pidato,
meriksa kuku panjang, sekaligus waktu latihan upacara bendera (bagi yang
bertugas) guna upacara rutinan setiap sabtu pagi di lapangan sekolah tercinta.
Akan
tetapi hari itu, aktifitas muhadloroh itu tidak berjalan seperti biasa.
PPM yang biasanya berseliweran keluar-masuk kelas pun tidak digubris oleh semua
penghuni kelas VI-A-2 (simbol ‘2’ memiliki makna bahwa berarti semua penghuni
kelas itu adalah perempuan, sedangkan laki-laki memakai simbol ‘1’) waktu itu.
Semua pada sibuk dan rame dengan aktifitas masing-masing sesuka hati mereka.
Ada yang sholawatan, bergosip ria, tidur, baca buku, makan jajan, dan
sebagainya.
Maklum,
beberapa penghuni kelas itu terdiri dari para PPM yg sudah purna di kelas itu, yang
baru aja lepas dari jabatannya dan sedang menikmati kebebasannya dari
tugas-tugasnya ketika masih menjadi PPM dulu. Akhirnya kelas itu pun menjadi
tak terkendali dan menjadi sangat gaduh.
Para
PPM baru yang bolak-balik masuk kelas guna melerai kegaduhan dan agar kami
melaksanakan muhadloroh seperti layaknya kelas lain pun sia-sia saja,
karena hampir semua penghuni kelas (terutama para mantan PPM) telah sepakat untuk
‘menguji’ para PPM baru itu, “biar mentalnya kuat”, seperti itu alasan
yang dipaparkan teman-teman.
Sampai
akhirnya, tiba-tiba datanglah sesosok laki-laki kurus, tinggi dan hitam manis
yang sudah sangat tidak asing di mata kita, masuk dengan menggeleng-gelengkan
kepala keheranan melihat tingkah anak-anak didiknya. Kontan saja anak-anak
langsung terdiam semua, sambil menahan tawa dan malu.
Dan
barangkali karena saking geramnya, akhirnya laki-laki itu pun mengambil sebuah
buku kecil dan memukulkannya ke masing-masing kepala seluruh penghuni kelas itu,
sembari ‘memarahi’ kami. Kami menahan tawa karena ‘saking menahan malunya’
kepada sosok laki-laki yang kami segani dan hormati itu, bahkan sudah kami
anggap sebagai Bapak kedua kami dan kami pun punya panggilan khusus kepada
beliau, yaitu ‘papi’.
Ya,
beliau adalah kabag kesiswaan sekolah, sekaligus wali kelas kami tercinta waktu
itu, yaitu Drs. Mahmudi Thoha (Alm), yang belakangan ketika kami sudah pada
lulus, sampai akhir hayatnya (Rabu, 14 Nopember 2012, bertepatan dengan akhir
Tahun 1433 H), beliau mendapat amanah dan kepercayaan menjadi kepala sekolah MA
di sekolah kami tersebut.
Akhirnya
suasana kelas menjadi cukup terkendali pasca itu dan kami (terutama mantan PPM)
hanya bisa menahan tawa dan malu karena peristiwa itu.
Ternyata
sekarang Beliau sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, Ah, ustadz,
maafin anak-anakmu yang agak ‘bandel’ dan selalu menyusahkanmu ini ...
***
Pertemuan
dan Pesan beliau yang ternyata, ‘Terakhir’.
Sampai
saat ini pun sebenarnya masih sulit untuk mempercayai bahwa beliau sudah
meninggalkan kami untuk selama-lamanya, karena kesan tentang beliau masih
terpatri sangat kuat dalam benak kami. Mulai dari ketika beliau memberi
pelajaran ‘ushul fiqh’ kepada kami di kelas, sampai pada saat-saat di
luar kelas; ketika rapat dengan bagian kesiswaan, berpapasan di tengah jalan,
ngobrol rutinan tiap tahun di rumah beliau ketika hari raya, dan sebagainya.
Sekali
lagi, beliau adalah sosok yang sangat disegani karena kewibawaan, kebijakan,
ketegasan dan kedisiplinan beliau. Dan beliau juga terbilang masih ‘muda’ dan
terlalu cepat meninggalkan dunia ini. Yah, mungkin memang ini jalan terbaik untuk
beliau yang diberikan-Nya, toh ‘maut’ memang tidak pernah pandang usia.
Masih
terekam sangat jelas sekali di ingatan, ketika hari raya Idul Fitri kemarin
beliau masih tampak sehat walaupun sebelumnya telah menderita sakit selama
kurang lebih 2 bulan. Ya, aku memang selalu menyempatkan diri paling tidak satu
tahun sekali (ketika hari raya) untuk bertandang ke rumah beliau. Sampai ada
temanku yang agak heran melihat aktifitas rutinku setiap tahun itu.
“nggak
tau ya, aku kok seperti beban mental gitu kalo gak ke rumah beliau pas hari
raya”,
jawabku pada temanku ketika dia mengungkapkan
keheranannya. Beliau juga masih ‘enak’ diajak ngobrol, dan waktu itu beliau
berpesan untukku agar mencarikan film OMAR.
“itu
filmnya bagus buat latihan maharah istima’ wi, karena bahasa Arabnya fushha. Saya
sudah nyari-nyari di youtube itu juga nggak nemu-nemu. Nanti kalo ada yang
punya, kabari ya wi”.
Aku
pun menganggukkan kepala, tanda sepakat dengan pendapat beliau itu.
Kurang
lebih seminggu sebelum ada berita tentang mangkatnya beliau, ketika aku sedang
bertandang ke Book Fair di Jogja yang diadakan oleh IKAPI (Ikatan
Penerbit Indonesia) di Gedung Wanitatama yang terletak persis di sebelah barat
kampus UIN, kebetulan ada yang membuka stand VCD dan DVD serta e-book, dan ada
Serial film OMAR disana sebanyak 6 DVD.
Akupun
seketika teringat pesan beliau, dan segera menghampiri penjaga stand tersebut
untuk menanyakan harga serial tersebut. Selain itu secara pribadi aku juga
sangat menginginkan film tersebut.
“260
ribu mbak”,
wah,
lumayan juga harganya, batinku.
Ingin
sekali membelinya dan memperlihatkannya kepada beliau, tapi kenyataan berkata
lain. Aku musti mengurungkan niatku karena kondisi kantong yang kurang
mendukung. Maklum, mahasiswa. Ah, kapan-kapan saja lah masih bisa, Pikirku.
***
“Innalillahi
wa inna ilaihi roji’un telah meninggal dunia ust. Mahmudi, mohon kiriman do’a
dari para alumni dan murid2 nya yang pernah diajar. Lahumul fatihah”.
Pagi
sekali ketika adzan subuh baru saja berkumandang, sebagai tanda agar umat
muslim segera bangun dari ‘mati sementara’nya untuk segera melaksanakan sholat
yang paling berat untuk dilakukan itu meskipun hanya 2 rakaat saja, SMS dari
temanku yang di Semarang tersebut masuk di HP-ku.
Mata
ini yang awalnya masih sangat berat untuk terbuka, kontan saja langsung
terbelalak kaget membaca SMS tersebut. Seketika batinku langsung bergemuruh
membaca SMS itu, dan rasa tidak percaya memenuhi fikiranku waktu itu. Sempat
termenung beberapa saat, lantaran saking kagetnya, tapi akhirnya aku putuskan untuk
tidak berlama-lama berkutat dengan batinku itu.
Segera
aku mengambil air wudlu dan ‘laporan’ dulu kepada-Nya. Ba’da sholat aku pun tidak
lupa mengirimkan fatihah kepada beliau. Sempat terselip sedikit
penyesalan di dada, karena tidak menyempatkan diri membesuk beliau, ketika
kemarin hari raya Idul Adha mendengar kabar bahwa beliau masuk Rumah Sakit
lagi. Rasa ikhlas kehilangan beliau untuk selama-lamanya pun masih belum pergi
dari batinku. Karena memang secara pribadi aku masih punya banyak ‘hutang’ ke
beliau.
Masih
terekam sangat jelas juga ketika beliau melontarkan pertanyaan yang sedikit
‘menggelitik’;
“Nikahnya
kapan wi?”
aku
hanya tersenyum, ketika hari raya kemarin sewaktu bertandang ke rumah beliau,
pertanyaan itu dilontarkan. Walaupun sebenarnya itu pertanyaan yang wajar
sekali dilontarkan kepada murid-murid perempuannya yang sudah lulus S-1.
“Nanti
kalo sudah waktunya pak”, jawabku
sekenanya sambil tersenyum.
Beliau
pun ikut tersenyum mendengar jawabanku itu. Untungnya hanya sampai di situ saja
obrolan beliau tentang ‘nikah’, (mungkin karena beliau memahami kondisi sikis-ku
yang habis ditinggal nikah oleh sang mantan yang kebetulan beliau juga sangat
kenal orangnya itu).
Ketika
akan beranjak pulang, beliau berpesan, yang ternyata itu merupakan ‘pesan
terakhir’ beliau kepadaku agar serius kuliah dulu, tidak usah terlalu
terburu-buru memasang janur kuning di rumah. Mumpung masih muda, begitu
kata beliau.
Aku
meng-iya-kan saja pesan beliau tersebut. Dan ternyata, harapanku agar nanti
beliau menghadiri undangan di hari bahagiaku itu pun harus pupus karena
ternyata Allah telah memanggilnya terlebih dahulu.
Sekarang
beliau sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Hanya untaian do’a yang
bisa kita kirim kepada beliau, semoga beliau mendapatkan tempat yang layak di
sisi Allah, di ampuni segala dosa-dosanya, di terima segala amal baiknya, serta
keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan oleh Allah. Amin ya Rabbal ‘alamin...
.....“selamat
jalan Bapak. Ilmu, pelajaran, pengabdian, dan pengorbanan yang telah engkau
berikan kepada kami (semua muridmu) dan juga kepada pondok Attanwir tercinta,
tentu akan masih sangat membekas di benak masing-masing, semoga Bapak
mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya”.....
***
Ngayogyakartahadiningrat,
15 Nopember 2012
07:25